Sabtu, 24 Januari 2009

Etika Pembelajaran Menurut Az-Zarnuji

I. P E N D A H U L U A N
Perkembangan ilmu-ilmu budaya manusia lebih terbelakang dari ilmu-ilmu kehidupan dan ilmu-ilmu alam. Teknik-teknik yang menyangkut aspek budaya manusia pun berkembang pula sesuai dengan itu.
Teknik-teknik penerapan ilmu sosiologi, psikologi, pendidikan, politik dikembangkan lewat penelitian-penelitian statistika. Dalam bidang komunikasi masa, bisa terjadi pengurasan otak manusia brain washing¬-lewat propaganda, periklanan, atau teknik-teknik komunikasi masa lainnya. Penyebaran dan pengendalian isu bisa menimbulkan anggapan massa tokoh yang sesungguhnya benar menjadi bersalah.
Etika dengan demikian semakin dikehendaki peranannya, karena dalam bidang ilmu ini lebih langsung menyangkut kemanusiaan. Andaikan perkembangan dua kelompok ilmu yang lain, teknik-teknik yang berkembang di bidang ilmu budaya itu negatif, berarti lebih dahsyat pengaruhnya pada kemanusiaan. Dengan begitu etika semakin dituntut peranannya.
Sehubungan dengan itu, maka didalam pembelajaran pun perlu ada Etika yang mengatur, sehingga pembelajaran dapat berjalan dengan baik dan sesuai dengan tujuan pembalajaran itu sendiri. Dalam kaitan ini etika pembelajaran setiap langkah dan tingkah laku guru sangat diperlukan. Karena dengan itu penampilan guru akan terarah dengan baik, bahkan akan terus bertambah baik. Ia akan terus mengembangkan profesinya sebagai guru. Kalau etika pembelajaran yang merupakan pedoman atau pegangan itu tidak dihiraukan berarti akan kehilangan pola umum sebagai guru. Kepribadian guru akan terlihat bagaimana pemanfaatan dan pelaksanaan dari etika pembelajaran. Etika pembelajaran yang dimaksud adalah etika pembelajaran menurut Az-Zarnuji seorang pemikir Islam yang hidup di abad ke 6 Hijriyah.
Dalam tulisan ini akan dibahas tentang Etika Pembelajaran Menurut Az-Zarnuzi dengan maksud untuk:

1.Menemukan Idealisasi Islam tentang Etika Pembelajaran menurut Az-Zarnuji, yang dikaji dari aspek teoritis dan formal, dengan menjawab pertanyaan, apa etika pembelajaran menurut Az-Zarnuzi?
2.Melakukan idealisasi dari perspektif Islam terhadap proses dan perilaku Etika Pembelajaran menurut Az-Zarnuzi, yang kajiannya secara praksis dan substansial dengan menjawab pertanyaan, Bagaimana Isi, ciri-ciri / karakteristik etika pembelajaran menurut Az-Zarnuzi?
3.Melakukan iedalisasi dari perspektif Islam terhadap relevansi dan nilai guna etika pembelajaran menurut Az-Zarnuji dalam penyelenggaraan pendidikan Islam, wilayah kajiannya yang ditinjau dari sisi Aksiologi, dengan menjawab pertanyaan mengapa etika pembelajaran penting dalam penyelenggaraan pendidikan Islam?


II.TELAAH PUSTAKA
Dalam kaitan etika pembelajaran paling tidak terdapat tiga paradigma tentang pandangan Islam mengenai Etika Pembelajaran, pertama paradigma Integratif yaitu: antara etika pembelajaran dan penyelenggaraan pendidikan Islam. Kedua paradigma simbiotik, yang memandang bahwa etika pembelajaran dan penyelenggaraan pendidikan Islam berhubungan timbal balik dan saling memerlukan. Ketiga paradigma instrumental, yaitu bahwa Etika pembelajaran merupakan instrumen atau alat bagi pengembangan Pendidikan Islam dan realisasi nilai-nilai Islam.
Agama memang potensial dalam mendukung penyelenggaraan pendidikan, karena agama memiliki beberapa kemungkinan fungsi terhadap pendidikan.
Pertama, agama merupakan sumber motivasi bagi pembangunan, yaitu faktor yang mendorong dan menggugah manusia dan masyarakar untuk membangun.
Kedua, agama merupakan sumber inspirasi bagi pembangunan, yaitu faktor yang dapat menyumbangkan nilai dan ide bagi pembangunan.
Ketiga, agama merupakan sumber evaluasi bagi pembangunan, yaitu bahwa agama dapat dijadikan sebagai alat ukur dan bahkan alat kritik untuk kebaikan proses pembangunan. (M. Din. Syamsudin, ”Etika agama dalam membangun masyarakat madani”, jakarta, Logos wacana Ilmu, 2002 :44).
Ada dua pendekatan yaitu pendekatan formalistik dan pendekatan substantivistik, pendekatan formalistik lebih mementingkan bentuk, sementara pendekatan substantivistik lebih cenderung mengedepankan isi ke timbang bentuk atau simbol.
Kedua kelompok ini juga menampilkan perbedaan mendasar pada aktualisasi keyakinan keagamaan (religius belief) kedalam aksi pendidikan. Yang formalis cenderung memformalkan bentuk/simbol-simbol agama, sedangkan yang substantivisme cenderung melakukan subtansi agama dalam proses pendidikan.( M. Din. Syamsudin, ”Etika agama dalam membangun masyarakat madani”, jakarta, Logos wacana Ilmu, 2002 : 67 ).
Etika adalah unsur penting yang terdapat dalam teori nilai. Yang banyak membahas teori baik dan buruk, benar dan salah. Etika mengandung pengertian: 1). Kata etika bisa dipakai dalam arti nilai-nilai atau norma-norma moral yang menjadi pegangan seseorang atau sekelompok orang dalam mengatur tingkah lakunya. 2). Etika berarti kumpulan asas atau moral. Misalnya kode etik; dan 3). Etika merupakan ilmu tentang yang baik dan yang buruk. (Cecep Sumarna, “Filsafat Ilmu”, Bandung, Mulia Press, 2008:209).
Secara etimologi, etika berasal dari bahasa Yunani ethos yang berarti watak. Sedangkan moral berasal dari bahasa Latin Mor (bentuk tunggal) dan more (bentuk jamak) yang sering diartikan sebagai kebiasaan.
Mengutif Siti Ghazbala (1981: 335), etika bersifat ideal dan hanya terkait dengan ide-ide. Ia merupakan suatu yang abstrak, tidak dapat disentuh panca indera. Manusia hanya dapat melihat perilaku manusia lainnya yang mengandung nilai. (Cecep Sumarna, “Filsafat Ilmu”, Bandung, Mulia Press, 2008:210 )
Menurut sastraprateja (1984) yang dikutif oleh M. Amin Aziz, sekurang-kurangnya ada enam tugas pokok etika pembelajaran: “1). Harus mengolah sikap yang sadar dan kritis mengenai tujuan-tujuan pembelajaran, tidak hanya yang secara formal terjadi dalam proses pembelajaran. 2). Menganalisa proses pembelajaran dari dalam dan mengisolasi nilai-nilai dan arti-arti yang tersembunyi di balik proses pembelajaran itu. 3). Merumuskan pedoman-pedoman atau prinsip-prinsip dasar sebagai orientasi dalam menentukan pengambilan keputusan dan kebijakan dalam proses pembelajaran. 4). Membangun kerangka teoritis yang terpadu. 5). Berdialog dengan ilmu-ilmu lainnya. 6). Menyadarkan manusia akan tanggung jawab baru dalam mengelola kekuatan-kekuatan yang telah dibangunnya sendiri.
Secara harafiah “etika pembelajaran” berarti sumber Etik. Etik artinya tata susila (etika) atau hal-hal yang berhubungan dengan kesusilaan dalam mengerjakan suatu pekerjaan, jadi “etika pembelajaran” diartikan sebagai aturan tata susila dalam proses belajar mengajar. Dalam hal ini kesusilaan diartikan sebagai kesopanan, sopan-santun dan ke adaban. (Sardiman A.M.,”Interkasi dan Motivasi Belajar Mengajar” Jakarta, Raja Grafindo Perkasa, 1996:149)
Etika pembelajaran, dengan demikian adalah kaidah-kaidah moral, norma atau aturan tata susila yang mendasari perilaku dalam melaksanakan pembelajaran itu. Etika pembelajaran membicarakan kaidah moral bagaimana teknik dan teknologi yang diterapkan dalam pelaksanaan pembelajaran.

III. P E M B A H A S A N
A. Pengertian Etika Pembelajaran
Sebagaimana di jelaskan diatas bahwa Etika Pembelajaran berkaitan erat dengan tata susila, norma-norma dan aturan-aturan dalam proses belajar mengajar, maka berikut ini akan dijelaskan tentang bagaimana konsep Syaikh Az-Zarnuji tentang Etika pembelajaran.
Menurut Saikh Az-Zarnuzi Etika pembelajaran meliputi: Bagimana berniat dalam belajar, bagaimana memilih guru, teman, dan ketabahan di dalam belajar, kemudian bagaimana penghormatan terhadap ilmu dan ulama, bagaimana keseriusan, ketekunan, dan minat dalam belajar, permulaan belajar, tawakal dalam belajar, dan waro’ dalam belajar. Itu semua adalah etika dan norma-norma serta tata urut pembelajaran menurut Az-Zarnuji yang dijelaskan dalam bukunya Ta’lim Muta’alim.
Dari batasan yang dikemukakan diatas dapat disimpulkan bahwa etika pembelajaran adalah suatu proses dalam mendapatkan dan menerapkan ilmu pengetahuan dalam kehidupan, sehingga ilmu itu bermanfaat bagi kehidupannya, lingkungannya dan bangsanya. Yang merupakan pola pembelajaran yang di dasarkan pada niat yang tulus dan ikhlas yang disesuaikan dengan minat dan bakatnya, yang disampaikan oleh guru yang cerdas dan profesional dan teman-teman sebaya yang saling mendukung dalam proses pembelajaran demi tercapainya tujuan pembelajaran.
B. Riwayat Singkat Az-Zarnuji
Tetapi sebelum menjelaskan satu persatu dari tata urut, norma-norma dan etika pembelajaran diatas akan dijelaskan secara singkat tentang biografi Syaikh Az-Zarnuji.
Kata Saikh adalah panggilan kehormatan untuk pengarang kitab ini. Sedangkan Az-Zarnuji adalah nama marga yang diambil dari nama kota tempat beliau berada, yaitu kota Zarnuj. Diantara dua kata itu ada yang menulis gelar Burhanuddin (bukti kebenaran agama), sehingga menjadi Syaikh Burhanuddin Az-Zarnuji. Adapun nama personnya sampai sekarang belum ditemukan literatur yang menulisnya. (Aliy As’ad, “Terjemah Ta’lim Muta’alim Bimbingan bagi penuntut Ilmu Pengetahuan” Kudus, Menara Kudus, 2007 : ii)
Zarnuj masuk wilayah Irak. Tetapi bisa saja kota itu dalam peta sekarang masuk wilayah Turkistan (kini Afganistan) karena berada di dekat kota Khoujanda, memang tidak banyak diketahui tahun kelahiran Az-Zarnuji, tetapi diyakini beliau hidup dalam kurun waktu yang sama dengan Az-Zarnuji yang lain. Seperti halnya Az-Zarnuji kita ini, Az-Zarnuji lain yang nama lengkapnya Tajuddin Nu’man bin Ibrahim Az-Zarnuji juga seorang ulama besar dan pengarang yang wafat tahun 640 H / 1242 M. Sedangkan wafatnya Saikh Az-Zarnuji yang penulis buku Ta’lim Muta’allim wafat sekitar tahun 593 H. (Ibid).
C. Karakteristik Etika Pembelajaran
Secara jelas di dalam kitab Ta’lim Muta’alim-nya Syaikh Az-Zarnuzi tidak tertera tentang karakteristik etika pembelajaran, tetapi ada beberapa hal yang menjadi catatan dan menarik perhatian, yaitu bahwa Az-Zarnuji memberikan rambu-rambu bagi para penuntut ilmu yaitu:
1.Niatkan mencari ilmu dengan tulus dan ikhlas semata-mata karena Allah SWT.
2.Dalam memilih ilmu yang akan dipelajari (jurusan) disesuaikan dengan dirinya (minat dan bakatnya), serta memilih guru harus orang yang alim (banyak ilmu / mumpuni), bersifat wara’ dan lebih tua.
3.Dalam bergaul carilah teman yang tekun belajar, bersifat wara’, bertawakal dan yang istiqamah.
Ketiga hal diatas dapat dikatakan sebagai karakteristik pembelajaran menurut Az-Zarnuji.

1. Niat
Menurut Syaikh Az-Zarnuji penuntut ilmu wajib niat sewaktu belajar, sebab niat itu merupakan pokok-pokok dalam segala perbuatan. Sebaiknya bagi penuntut ilmu dalam belajarnya berniat mencari Ridlo Allah, kebaikan akhirat, membasmi kebodohan diri sendiri dan sekalian orang-orang bodoh. Mengembangkan agama dan mengabdikan Islam, sebab keabadian Islam itu harus diwujudkan dengan ilmu, sedangkan berbuat zuhud dan takwa itu tidak jika tanpa ilmu. Dalam menuntut ilmu hendaknya diniatkan juga untuk mensyukuri atas kenikmatan akal dan kesalehan badan; hendaklah jangan berniat mencari popularitas, tidak untuk mencari harta dunia, juga tidak untuk mencari kehormatan di mata penguasa dan semacamnya.
Jadi menurutnya dasar dari menuntut ilmu adalah sebuah niat yang Ikhlas semata-mata karena Allah Swt, untuk kemaslahatan umat, Kemashlahatan Agama Dan kemashlahatan bangsa, karena niat demikian adalah bagian dari sikap zuhud dan takwa. Tanpa didasari niat yang tulus dan ikhlas didalam pembelajaran maka tidak akan mendapatkan hasil yang maksimal.
Niat yang tulus dan ikhlas dalam pembelajaran merupakan pilar utama yang mendukung terciptanya iklim pembelajaran yang kondusif yang akan berpengaruh pada kualitas dan intensitas serta harmonisasi dalam kegiatan belajar mengajar. Dan niat ini pula yang menjadi pijakan bagi siswa maupun guru dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya masing. Sehingga tidak akan terjadi dikotomi pembelajaran yang dilakukan oleh guru, murid maupun pihak-pihak yang terkait dengan pembelajaran itu sendiri.

2. Memilih jurusan
Dalam memilih ilmu (mentukan pilihan bidang Studi / jurusan) para santri harus memilih ilmu/bidang studi yang paling baik atau paling cocok dengan dirinya. Suatu bidang ilmu yang dikaji akan sangat menarik dan menantang bagi mereka yang menyenanginya dan yang merasa cocok dengan bidang ilmu itu, sehingga motivasi berprestasi dari santri/siswa akan mendorongnya untuk tekun belajar, keseriusan dalam mengerjakan tugas-tugas, serta kedisiplinan yang tinggi dalam mengikuti seluruh proses belajar yang mengajar, bahkan proses itu tidak hanya terjadi di lingkungan sekolah/kampus ataupun pondok saja. Proses itu akan menjadi sumber kekuatan dimanapun dan kapanpun, sehingga dalam konteks ini proses belajar mengajar tidak lagi mengenal tempat dan waktu, karena setiap saat dimana saja para santri/siswa dapat terjadi proses belajar mengajar.
Adapun cara memilih guru/kiai carilah yang alim, yang bersifat wara’ dan yang lebih tua. Seorang guru yang baik dan menyadari profesinya sebagai guru, maka alim/cerdas adalah syarat mutlak bagi guru. Di samping itu juga keteladanan dan sifat wara’ seorang gurupun tidak kalah pentingnya. Sebab keteladanan merupakan pengalaman belajar yang paling mudah dan paling gampang diingat oleh santri/siswa. Olehnya paling tidaknya, sedikitnya seorang guru memiliki sifat keteladanan yang baik yang berakhlakul karimah dan bersifat wara’ (teliti dan hati dalam segala hal).
Para santri tidak akan memperoleh ilmu dan tidak ilmu tidak bermanfaat, tanpa mau menghormati ilmu dan gurunya. Bagian dari menghormati guru diantaranya adalah tidak berjalan di depannya, tidak duduk ditempatnya, jika dihadapannya tidak memulai bicara kecuali mendapat ijinnya, tidak bertanya sesuatu bila guru sedang bosan / capek, harus menjauhi hal-hal yang menyebabkan guru murka, mematuhi perintah asal tidak bertentangan dengan agama, tidak boleh menyakiti hati gurunya.
Kaitanya dengan hal diatas dapat diartikulasikan sebagai bentuk penegasan tentang etika murid terhadap guru dan bidang studi yang dipelajarnya. Karena dengan pola aturan diatas akan terjadi harmonisasi antara santri/murid dengan guru/sang kyai, antara santri/murid dengan bidang ilmu yang dipelajarinya.
Bagian dari menghormati ilmu diantaranya adalah; tidak memegang kitab kecuali dalam keadaan suci. Karena ilmu adalah cahaya dan wudhu pun cahaya, sedangakan cahaya ilmu tidak akan bertambah kecuali dengan berwudhu. Dilarang meletakkan kitab didekat kakinya, tidak meletakan sesuatu di atas kitab, santri harus bagus dalam menulis, tulisannya harus jelas. Termasuk menghormati teman dan orang yang mengajar bagian dari menghormati ilmu.

3. Bergaul dengan teman sebaya
Seorang santri harus memilih teman dengan orang yang tekun belajar, bersifat wara’ dan bertawakal istiqamah. Dan orang yang suka memahami ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadist-hadist Nabi.
Para santri harus bersungguh-sungguh dalam belajar,harus tekun, santri tidak boleh banyak tidur malam hari. Para santri harus menggunakan waktu malam untuk belajar dan beribadah, supaya memperoleh kedudukan tinggi di sisi-Nya. Jangan banyak makan agar tidak ngantuk. Santri harus mengulang-ulang pelajarannya pada waktu malam dan akhir malam, yaitu antara Isya dan sahur, karena saat-saat itu diberkahi. Para pelajar harus memanfaatkan waktu mudanya untuk bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu. Mencari ilmu harus sabar pelan tapi pasti dan kontinyu, santri harus bercita-cita tinggi dan harus bersungguh-sungguh.
Para santri harus sering mendiskusikan suatu pendapat/masalah dengan teman-temannya. Diskusi tersebut harus dilakukan dengan tenang, tertib, tidak gaduh, tidak emosi karena itu semua adalah pilar di dalam berdiksusi, sehingga tujuan dari diskusi dapat tercapai. Belajar dengan cara diskusi dan dialog lebih efektif dari pada belajar sendiri. Para penuntut ilmu harus mengurangi hubungi duniawi sesuai dengan kemampuannya. Para penuntut ilmu seharusnya tidak menyibukan diri kecuali hanya menuntut ilmu.
Menuntut ilmu itu mulai dari ayunan (masih kanak-kanak) sampai ke liang kubur (mati). Masa muda harus digunakan untuk menuntut ilmu sebaik-baiknya. Adapun waktu belajar yang paling baik ialah menjelang waktu subuh dan antara waktu magrib dan isya. Orang berilmu harus menyayangi sesama , senang kalau orang lain mendapat kebaikan, tidak iri hati (hasad). Santri harus sibuk melakukan kebaikan dan menghindari permusuhan. Jangan berprasangka buruk terhadap orang mukmin, karena hal itu sumber permusuhan, dan tidak halal.
Para santri harus menambah ilmu setiap hari agar dapat kemuliaan, harus selalu membawa buku dan pena untuk menulis ilmu yang bermanfaat yang ia dengar setiap saat. Setiap santri juga harus bersikap wara’ (menjaga diri dari hal-hal yang tidak jelas halal-haramnya). Adapula hala-hal yang perlu diperhatikan oleh santri yaitu hal-hal apa saja yang dapat menguatkan hafalan ialah tekun/rajin belajar, katif mengurangi makanan, salat malam, dan membaca Al-Qur’an. Makan kundar (kemeyan) dicampur madu, dan makan dua puluh satu anggur merah setiap hari tanpa air, dapat menguatkan hapalan dan dapat menyembuhkan macam-macam penyakit. Dan apa saja yang dapat mengurangi dahak, bisa mnehuatkan hafalan, dan apa saja yang menambah dahak itu menyebabkan lemahnya hafalan. Adapun yang merusak hafalan adalah banyak berbuat maksiat, banyak dosa, banyak susah, prihatin memikirkan urusan harta, dan terlalu banyak kerja. Mengerjakan shalat dengan khusyu’ dan menyibukan diri untuk mencari ilmu dapat menghilangkan penderitaan dan kesusahan. Hal-hal yang menyebabkan cepat lupa ialah makan ketumbar basah, makan apel yang asam, melihat orang yang dipancung, membaca tulisan dikuburan, melewati barisan unta, membuang ketombe hidup ditanah dan melukai di bagian tengkuk kepala untuk menghilangkan rasa pusing-pusing.
Para santri pun dianjurkan untuk menghindari dusta, menghindari tidur pagi karena dapat menyebabkan miskin harta dan miskin ilmu. Ilmu dikumpulkan dengan meninggalkan tidur, di larang tidur dengan telanjang, kencing dengan telanjang, makan dalam keadaan junub dan lain-lain sampai menyepelekan shalat itu semua dapat menjauhkan rejeki dan mendekatkan kepada kefakiran.

C. Pentingnya Etika Pembelajaran dalam Pendidikan Islam
Pendukung utama tercapainya sasaran pembangunan manusia Indonesia yang bermutu adalah pendidikan yang bermutu. Proses pendidikan yang bermutu tidak hanya cukup dilakukan melalui tranformasi ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi juga harus didukung oleh peningkatan profesionalisme dan sistem manajemen tenaga pendidik serta pengembangan kemampuan peserta didik.
Kemampuan ini tidak hanya menyangkut aspek akademis, tetapi menyangkut aspek perkembangan pribadi, sosial, kematangan intelektuaktual dan sistem nilai peserta didik. Di wilayah inilah etika pembelajaran berperan.
Dunia pendidikan Islam sudah sepatutnya memperhatikan wilayah garapan etika pembelajaran dan menerapkannya dalam proses berlangsungnya transper ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga akan melahirkan karakterisitik peserta didik yang memiliki kematangan mental, Intelektual dan spritual yang harus menjadi ciri khas dari model pendidikan Islam.
Sejalan dengan harapan diatas Pendidikan Islam di Indonesia mau tak mau, siap tak siap, harus menerapkan etika pembelajaran yang sesuai dengan ajaran Islam dan tidak ketinggalan jaman dengan kemajuan teknologi, sehingga menghasilkan outcome yang berkualitas. Yang siap bersaing dengan siapun dan dengan model apapun.

IV. K E S I M P U L A N
Dari pemaparan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa:
1.Sayikh Az-Zarnuji hidup di abad ke 6 H / 13 M, di daerah di kota Zarnuj dekat kota Khounjanda diwilayah Irak pada masa itu tetapi sekarang masuk wilayah Afganistan.
2.Ajaran-ajaran etikanya kebanyakan membahas masalah etika dalam menuntut ilmu yang dalam istilah ini disebut etika pembelajaran.
3.adapun hal yang mendasar dari ajaran etika pembelajaran adalah berkaitan dengan; a). Ketulusan dan keihklasan niat dalam menuntut dan memberikan ilmu, ini hal yang terpenting karena seorang guru ataupun siswa ketika mereka dalam proses belajar mengajar harus dengan niat yang tulus dan ikhlas sehingga proses belajar mengajar berjalan dengan baik dan lancar, serta tujuan dari pembelajaran akan tercapai secara optimal. b). Sikap bersungguh-sungguh dan keseriusan dalam menutut dan memberikan ilmu, dengan susngguh-sungguh sesulit apapun dan sesusah apapun pelajaran akan dapat dipahami dan dimengerti dengan baik, sehingga kesugguhan dan keseriusan menjadi faktor keberhasilan dalam menuntut ilmu. c). Wara’ adalah sikap kehati-hatian yang harus dimiliki oleh pendidik mapun peserta didik, ketelitian dan kehati-hatian bagian dari etika dalam proses pembelajaran, karena kesalahan adalah hal yang menyebabkan kerusakan.
4.Syaikh Az-Zarnuji pun memberikan tip tentang upaya peningkatan hapalan dengan: rajin belajar, mengurangi volume makan, shalat malam, sering membaca al-Qur’an, sebelum belajar harus berdoa, banyak membaca salawat untuk Nabi, makan kemeyan dicampur madu dilakukan setiap hari, menghindari makanan asam.

1 komentar: