Dalam makalah yang berjudul “learning processes and approaches” yang kami terjemahkan sebagai “pendekatan dalam proses pembelajaran” mempunyai beberapa permasalahan yang dikemukakan, diantaranya adalah tentang “ Level of Processing (LOP) yaitu tingkatan-tingkatan dalam proses belajar dan Students Approaches to Learning (SAL)/model pendekatan siswa dalam belajar.
Dalam “level of processing (LOP)” atau yang kami istilahkan sebagai tingkatan-tingkatan pada proses belajar siswa menurut Atkinson dan Shifrin (1968), bahwa proses ingatan manusia terdiri dari tiga tingkatan yaitu: tingkatan sensorik register, ingatan jangka pendek, dan ingatan jangka panjang. Pada tingkatan sensorik register seluruh informasi yang berasal dari lingkungan sekitar diserap semua, sehingga informasi yang diterima pada tingkatan ini tidak terbatas, apabila dalam tingkatan ini seseorang memberikan perhatian lebih pada salah satu informasi atau term maka pada bagian inilah atau pada term ini sajalah yang kemudian informasi itu diteruskan ke memori jangka pendek (Short time memory). Apabila informasi ini di elaborasi dan di inteprestasikannya dalam lingkungan dengan memadukannya menjadi satu maka informasi ini akan semakin melekat dan ditransfer ke tahap berikutnya yaitu di simpan dalam suatu memori jangka panjang (long time memory), sehingga informasi itu/ term itu akan lama berada pada memori seseorang itu, dan akhirnya term itu atau informasi itu menjadi sangat familiar.
Tentunya untuk menjadikan suatu informasi atau suatu term bukan hanya lewat begitu saja melalui sensori register memori, maka harus ada proses perhatian penuh pada informasi itu yang kemudian di elaborasi dalam tindakan, sehingga informasi itu akan disimpannya dalam simpanan memori jangka panjang.
Kapasitas memori jangka pendek sangat terbatas, oleh karena itu perlu dilakukan pelatihan secara berkesinambungan sehingga tidak cepat hilang. Suatu informasi yang telah ditransfer ke memori jangka pendek kalau secara kontinue dilakukan terus meneerus pengulangan dan latihan, maka setahap demi setahap informasi itu akan ditransfer dan masuk pada ranah memori jangka panjang, apabila informasi itu sudah ditansfer ke memori jangka panjang maka informasi itu akan menjadi sangat familiar dan mudah untuk dingat kembali dimanapun dan kapanpun informasi itu akan dimunculkan kembali.
Namun apabila proases itu tidak dilalui maka jutaan informasi masuk, namun jutaan informasi pula yang dilupakan. Lebih jauh dijelaskan oleh Craik dan Lockhart, 1972) bahwa bekas memori yang jauh lebih kuat dan lebih lama adalah hasil dari analisis level yang lebih mendalam.
Sementara itu disisi lain menurt Scchmek (1983), pada proses pembelajaran inventarisasi dan indetifikasi, proases pembelajarn diklasifikasikan dalam 4 tingkatan proses, yaitu : prose belajar mendalam, proses belajar elaborasi, proses belajar melalui ingatan terhadap faklta-faktadan melalui metode dan strategi khusus dalam belajar.
Pada proses belajar secara mendalam siswa sejauh mungkin menggambarkan, mengevaluasi dengan kritis, mengiorganisasi dengan konsep, memiliki tendensi untuk memprediksi informasi khusus dan instruksi yang disediakan guru serta membandingkan dan membedakan infornmasi yang dipelajarinya. Dalam proses elaborasi pengalaman akan dirinya dan pendekatan cara belajarnya yang menjadikan sebagai model dalam proses belajarnya. Dengan demikian maka seluruh fakta-fakta yang berkaitan dengan pembelajaran akan dikumpulkan untuk disiapkan sebagai bahan membuat definisi dan rumusan, maka akan lahirlah model belajar dan strategi belajar yang cermat.
Karakteriaitik siswa dalam pendekatan pembelajaran menurut Biggs (1987), ada tiga yaitu: Pendekatan belajar mendalam yaitu model pendekatan yang berasal dari motivasi instrinsik siswa, sehingga siswa akan secara luas membaca, menghubungkan informasi-informasi dengan pengetahuan secara relevan. Namun tidak demikian pada model belajar siswa dalam motif bvelajar dangkal yaitu suatu pola belajar yang berorientasi pada pemenuhan persaratan minimal dari guru, sehingga polanya terbnatas pada hapalan dan reproduksi. Selanjutnya tipe yang ketiga yaitu tipe belajar ingin berprestasi, nah pada tipe ini seorang siswa akan belajar untuk mendapatklan pujian bahwa dirinya yang paling mampu dan paling cerdas, tidak perduli apakah materi itu menarik baginya atau tidak, kebaikan dari tipe ini siswa akan melakukan strategi pembelajaran yang cermat, pengaturan dan penjadwalan belajar yang baik, mengikuti saran bacaan yang disarankan.
Senin, 01 Maret 2010
PERBANDINGAN PSIKOBIOGRAPI HILLARY CLINTON DENGAN CONDOLEEZZA RICE (Trey Fitch dan Jennifer Marshall)
Dalam artikel ini dijelaskan tentang perbedaan dan persamaan sifat, karakter dan kepribadian antara Hillary Clinton dengan Condoleezza Rice. Dua individu ini dijadikan sebagai sebuah studi banding tentang Psikobiograpinya dikarenakan beberapa alasan yaitu: pertama keduanya merupakan tokoh politik wanita yang populer di Amerika, kedua mereka banyak menghadirkan kasus secara kontras dan secara bersamaan. Dan ketiga keduanya memberikan sesuatu yang unik dalam kancah politik dan sejarah perpolitikan Amerika Khususnya dan dunia umumnya.
Pendekatan ilmiah yang dilakukan berdasarkan analisis dari berbagai ciri kepribadian diantara keduanya yaitu meliputi : keterbukaan, ketelitian, sifat ekstrovert, popularitas publik dan emosi.
Baik Hillary Clinton maupun Condoleezza Rice sama memilki sifat keterbukaan terhadap gagasan baru, tidak konservatif, dan memiliki pengalaman karir politik yang bagus. Orang seperti Hillary Clinton dan Condoleeza Rice sangat menyukai tantangan dan berpetualangan, memotivasi diri untuk maju, dan mengorganisir dengan teliti, juga mereka sangat ramah dan suka mencari perhatian orang lain dan memberi perhatian kepada orang lain.
Dalam ketelitian keduanya mempunyai sifat ini yang masing-masing diwarisi dari sifat orang tua mereka. Ketelitian ditunjukan dalam berorganisasi dan karir yang merupakan tuntutan proposionalitas dan juga tuntutan lingkungan. Mereka sangat teliti dan hati-hati dalam membuat keputusan dan juga dalam meberikan pernyataan. Di samping itu dalam kancah politik telah banyak memberikan kotribusi akan ketelitiannya itu.
Dalam emosi Hillary Clinton lebih terkendali ketimbang Condoleezza Rice yang terkesan sedikit emosional. Sehingga wajarlah kalau kemudian Hillary Clinton menjadi sosok Pigur wanita Amerika yang di kagumi dan di idolakan oleh masyarakat AS maupun masyarakat dunia, ditunjang lagi dengan karir politiknya yang bagus yang sangat didukung oleh suaminya. Hillary Clinton adalah seorang politikus wanita AS yang berani datang mencalonkan diri sebagai Presiden yang walaupun kemudian kalah suara dengan rivalnya Barrak Obama, namun sepak terjangnya dalam kancah politik telah menorehkan sejaraha baru dalam panggung politk wanita di Amerika Serikat.
Hillary Clinton dan Condoleezza Rice keduanya memiliki pandangan yang sama tentang budaya tradisonal. Yang menarik lagi keduanya juga bergabung dalam partai politik sebagai politikus wanita yang termuda. Dan keduanya baik Hillary Clinton maupun Condoleezza Rice dilaporkan sangat dekat dekat ibunya.
Perbedaan pola asuh menimbulkan tipe kepribadian yang berbeda saat mereka dewasa. Sebagai contoh Hillary Clinton adalah anak tertua dan bapaknya sangat otoriter dalam mendidik anak-anaknya, sedangkan Condoleezza Rice merupakan anak tunggal yang selalu menuntut dan selalu terpenuhi kebutuhan-kebutuhannya, sehingga jarang sekali berselisih dengan orang tuanya. Hillary Clinton nampak lebih enjoy memainkan peran yang bertolak belakang seperti ketika menjadi anggota senator. Sedangkan Coondoleezza rice nampak menyukai kehidupan dalam sorotan publik. Keduanya terkesan kuat walaupun dengan jalannya masing-masing. Contoh lain Hillary Clinton memperoleh perhatian nasional dalam pidatonya didepan Presiden. Dia secara terbuka membantah pesan yang kolot atas politisi yang terkenal yang juga berbicara pada pembukaan perguruan itu. Sedangkan Condoleezza Rice memperoleh perhatian besar dalam bidang akademik sebagai figur yang berpengaruh dikalangannya sebagai siswa dan kemudian dia menjadi Professor di perguruan tinggi. Contoh ini mencerminkan kontradiksi antara gaya seorang manajer/organiser dengan gaya seorang analyst.
Ringkasnya, kebanyakan publik menyederhanakan kelebihan peran dua wanita yang paling berpengaruh dalam ideologi politis. Bagaimanapun hidup mereka sudah melebihi batasan-batasan politis. Mereka berdua menghadirkan transisi historis yang unik. Mereka bertindak sebagai wakil atau contoh positif dari hak-hak warga negara dan pergerakan perempuan. Condoleezza Rice telah mencapai prestasi tertinggi AS sebagai seorang wanita pertama yang menjadi politikus. Dan Hillary Clinton telah menjadi seorang perempuan yang datang untuk menjadi Presiden AS. Hidup mereka menunjukan hikmah dan kebanggaan yang luar biasa bagi orang tuanya, masyarakatnya dan lingkungannya. Dengan mengabaikan aspek politik, cerita hidup dan prestasi mereka harus dijadikan sebagai inspirasi dan sumber motivasi untuk maju. Dengan mempelajari kepribadian psikologi dan sejarah dua figur historis ini kita dapat memahami budaya masyarakat kita sendiri.
Pendekatan ilmiah yang dilakukan berdasarkan analisis dari berbagai ciri kepribadian diantara keduanya yaitu meliputi : keterbukaan, ketelitian, sifat ekstrovert, popularitas publik dan emosi.
Baik Hillary Clinton maupun Condoleezza Rice sama memilki sifat keterbukaan terhadap gagasan baru, tidak konservatif, dan memiliki pengalaman karir politik yang bagus. Orang seperti Hillary Clinton dan Condoleeza Rice sangat menyukai tantangan dan berpetualangan, memotivasi diri untuk maju, dan mengorganisir dengan teliti, juga mereka sangat ramah dan suka mencari perhatian orang lain dan memberi perhatian kepada orang lain.
Dalam ketelitian keduanya mempunyai sifat ini yang masing-masing diwarisi dari sifat orang tua mereka. Ketelitian ditunjukan dalam berorganisasi dan karir yang merupakan tuntutan proposionalitas dan juga tuntutan lingkungan. Mereka sangat teliti dan hati-hati dalam membuat keputusan dan juga dalam meberikan pernyataan. Di samping itu dalam kancah politik telah banyak memberikan kotribusi akan ketelitiannya itu.
Dalam emosi Hillary Clinton lebih terkendali ketimbang Condoleezza Rice yang terkesan sedikit emosional. Sehingga wajarlah kalau kemudian Hillary Clinton menjadi sosok Pigur wanita Amerika yang di kagumi dan di idolakan oleh masyarakat AS maupun masyarakat dunia, ditunjang lagi dengan karir politiknya yang bagus yang sangat didukung oleh suaminya. Hillary Clinton adalah seorang politikus wanita AS yang berani datang mencalonkan diri sebagai Presiden yang walaupun kemudian kalah suara dengan rivalnya Barrak Obama, namun sepak terjangnya dalam kancah politik telah menorehkan sejaraha baru dalam panggung politk wanita di Amerika Serikat.
Hillary Clinton dan Condoleezza Rice keduanya memiliki pandangan yang sama tentang budaya tradisonal. Yang menarik lagi keduanya juga bergabung dalam partai politik sebagai politikus wanita yang termuda. Dan keduanya baik Hillary Clinton maupun Condoleezza Rice dilaporkan sangat dekat dekat ibunya.
Perbedaan pola asuh menimbulkan tipe kepribadian yang berbeda saat mereka dewasa. Sebagai contoh Hillary Clinton adalah anak tertua dan bapaknya sangat otoriter dalam mendidik anak-anaknya, sedangkan Condoleezza Rice merupakan anak tunggal yang selalu menuntut dan selalu terpenuhi kebutuhan-kebutuhannya, sehingga jarang sekali berselisih dengan orang tuanya. Hillary Clinton nampak lebih enjoy memainkan peran yang bertolak belakang seperti ketika menjadi anggota senator. Sedangkan Coondoleezza rice nampak menyukai kehidupan dalam sorotan publik. Keduanya terkesan kuat walaupun dengan jalannya masing-masing. Contoh lain Hillary Clinton memperoleh perhatian nasional dalam pidatonya didepan Presiden. Dia secara terbuka membantah pesan yang kolot atas politisi yang terkenal yang juga berbicara pada pembukaan perguruan itu. Sedangkan Condoleezza Rice memperoleh perhatian besar dalam bidang akademik sebagai figur yang berpengaruh dikalangannya sebagai siswa dan kemudian dia menjadi Professor di perguruan tinggi. Contoh ini mencerminkan kontradiksi antara gaya seorang manajer/organiser dengan gaya seorang analyst.
Ringkasnya, kebanyakan publik menyederhanakan kelebihan peran dua wanita yang paling berpengaruh dalam ideologi politis. Bagaimanapun hidup mereka sudah melebihi batasan-batasan politis. Mereka berdua menghadirkan transisi historis yang unik. Mereka bertindak sebagai wakil atau contoh positif dari hak-hak warga negara dan pergerakan perempuan. Condoleezza Rice telah mencapai prestasi tertinggi AS sebagai seorang wanita pertama yang menjadi politikus. Dan Hillary Clinton telah menjadi seorang perempuan yang datang untuk menjadi Presiden AS. Hidup mereka menunjukan hikmah dan kebanggaan yang luar biasa bagi orang tuanya, masyarakatnya dan lingkungannya. Dengan mengabaikan aspek politik, cerita hidup dan prestasi mereka harus dijadikan sebagai inspirasi dan sumber motivasi untuk maju. Dengan mempelajari kepribadian psikologi dan sejarah dua figur historis ini kita dapat memahami budaya masyarakat kita sendiri.
TEKNIK PENENTUAN NILAI AKHIR
I. P E N D A H U L U A N
Data nilai dapat mencakup nilai tugas, nilai ulangan harian, nilai ujian tengah semester, nilai ujian akhir semester dan nilai rangkaian kegiatan, seperti penulisan karangan, pekerjaan rumah, partisipasi dalam kelas, praktek dan sebagainya. Nilai akhir yang diberikan kepada siswa ditentukan berdasar nilai akhir tersebut, sehingga nilai akhir ini merupakan kesimpulan nilai-nilai yang dicapai oleh siswa dalam ujian akhir dan rangkaian kegiatan yang telah dilakukannya. Dalam menentukan nilai akhir, bobot nilai-nilai yang merupakan komponennya perlu ditentukan dan diberitahukan kepada siswa.
Sistem penilaian yang sesuai dengan maksud dan tujuan yang telah disebutkan di atas adalah sistem penilaian relatif, yaitu sistem yang digunakan untuk menilai kemampuan siswa yang lain dalam kelasnya. Ini berarti bahwa prestasi seluruh siswa dalam suatu kelas dipakai sebagai dasar penilaian.
Dalam hal ini digunakan anggapan bahwa dalam suatu kelompok siswa, dalam jumlah yang cukup besar, pasti terdapat siswa yang kemampuannya amat baik, cukup, kurang, dan jelek. Kepada kelompok siswa yang berkemampuan amat baik diberikan nilai 90, para siswa yang termasuk dalam kelompok baik diberi nilai 80, yang berkemampuan cukup diberi nilai 70, nilai 60 diberikan kepada kelompok siswa yang berkemampuan kurang, sedang kelompok siswa yang berkemampuan jelek diberi nilai 50.
Dengan demikian nilai-nilai angka 91-100, 81-90, 71-80, 61-70, dan 51-60 mempunyai arti sebagai berikut:
91-100 = amat baik
81-90 = baik
71-80 = cukup
61-70 = kurang
51-60 = jelek
Bagi seorang siswa, nilai merupakan sesuatu yang sangat penting karena nilai merupakan cermin dari keberhasilan belajar. Namun bukan hanya siswa sendiri saja yang memerlukan cerminan keberhasilan belajar; guru dan dan orang lainnyapun, memerlukannya. Sehingga pemberian nilai akhir bagi siswa menjadi sangat penting dalam rangka memetakan kemampuan siswa berdasarkan kriteria yang telah disebutkan diatas.
II. PENGERTIAN DAN FUNGSI NILAI AKHIR
A. PENGERTIAN NILAI AKHIR
Nilai akhir sering juga dikenal dengan istilah nilai final adalah, nilai baik berupa angka atau huruf yang melambangkan tingkat keberhasilan peserta didik setelah mereka mengikuti program pendidikan pada jenjang pendidikan tertentu, dalam jangka waktu yang telah ditentukan.
Penentuan nilai akhir oleh seorang pendidik terhadap peserta didiknya pada dasarnya merupakan pemberian dan penentuan pendapat pendidik terhadap peserta didiknya, terutama mengenai perkembangan, kemajuan dan hasil-hasil yang telah dicapai oleh peserta didik yang berada dibawah asuhannya, setelah mereka menempuh proses pembelajaran dalam jangka waktu tertentu.
B. FUNGSI NILAI AKHIR
Secara garis besar memiliki empat macam fungsi yaitu: fungsi intruksional, fungsi informatif, fungsi bimbingan dan fungsi administratif.
1. Fungsi Intruksional
Tidak ada tujuan yang lebih penting dalam proses belajar mengajar kecuali mengusahakan agar perkembangan dan belajar siswa mencapai tingkat optimal. Pemberian nilai merupakan salah satu cara dalam usaha ke arah tujuan itu, asal dilakukan dengan hati-hati dan bijaksana.
Pemberian nilai merupakan suatu pekerjaan yang bertujuan untuk memberikan suatu balikan (feed back / umpan balik) yang mencerminkan seberapa jauh seorang siswa telah mencapai tujuan yang ditetapkan dalam pengajaran atau sistem instruksional.
Apabila pemberian nilai dapat dilakukan dengan cermat dan terperinci, maka akan lebih mudah diketahui pula keberhasilan dan kegagalan siswa disetiap bagian tujuan. Oleh karena itu, penggabungan nilai dari berbagai nilai sehingga menjadi nilai akhir, kadang-kadang dapat menghilangkan arti dari petunjuk yang semula telah disajikan secara teliti.
Nilai rendah yang diperoleh seorang atau beberapa siswa, jika disajikan dalam keadaan yang terperinci akan membantu siswa dalam usaha memperbaiki dan memberi motivasi peningkatan prestasi berikutnya. Bagi pengelola pengajaran, sajian terperinci nilai siswa dapat berfungsi menunjukan begian-bagian proses mana yang perlu diperbaiki.
2. Fungsi Informatif
Memberikan nilai siswa kepada orang tuanya mempunyai arti bahwa orang tua tersebut menjadi tahu akan kemajuan dan prestasi putranya di sekolah. Catatan ini akan sangat berpengaruh, terutama bagi orang tua yang ikut serta menyadari tujuan sekolah dan perkembangan putranya. Dengan catatan ini orang tua akan:
a. sadar terhadap keadaan putranya, untuk kemudian lebih baik memberi bantuan berupa perhatian, dorongan ataupun bimbingan, dan
b. hubungan orang tua dengan sekolah semakin lebih baik.
3. Fungsi Bimbingan
Pemberian nilai kepada siswa akan mempunyai arti besar bagi pekerjaan bimbingan. Dengan perincian gambaran nilai siswa, petugas bimbingan akan segera tahu bagian-bagian mana dari usaha siswa disekolah yang masih memerlukan bantuan. Catatan lengkap yang juga mencakup tingkat (rating) dalam kepribadian siswa serta sifat-sifat yang berhubungan denga rasa sosial akan sangat membantu siswa dalam mengarahkannya sebagai pribadi yang seutuhnya.
4. Fungsi Administratif
Secara administratif pemberian nilai akhir oleh seorang pendidik terhadap peserta didiknya itu memiliki fungsi sebagai berikut:
a. Menentukan kenaikan dan kelulusan siswa.
b. Memindahkan atau menempatkan siswa.
c. Memberikan beasiswa.
d. Memberikan rekomendasi untuk melanjutkan belajar.
e. Memberi gambaran tentang prestasi siswa/lulusan kepada para calon pemakai tenaga kerja.
III. FAKTOR-FAKTOR PERTIMBANGAN DALAM MENENTUKAN NILAI AKHIR
Walaupun hal yang dinilai tidak sama bagi setiap sekolah, namun secara garis besar dapat ditentukan unsur umum dalam penilaian yang menyangkutnya faktor-faktor yang harus dipertimbangkan. Unsur-unsur umum tersebut itu adalah: prestasi/pencapaian, usaha, aspek pribadi dan sosial, kebiasaan bekerja.
A. Prestasi / Pencapaian (achievment)
Nilai prestasi harus mencerminkan tingkatan-tingkatan siswa sejauh mana telah dapat mencapai tujuan yang ditetapkan di setiap bidang studi.
Simbol yang digunakan untuk menyatakan nilai, bail huruf maupun angka, hendaknya hanya merupakan gambaran tentang prestasi saja. Unsur pertimbangan atau kebijaksanaan guru tentang usaha dan tingkah laku siswa tidak boleh ikut berbicara pada nilai tersebut.
B. Usaha (effort)
Disamping nilai-nilai hasil belajar yang diacapai oleh peserta didik, faktor usaha yang telah mereka lakukan juga perlu mendapat pertimbangan dalam rangka penentuan nilai akhir. Sekalipun misalnya seorang peserta didik hanya dapat mencapai nilai-nilai hasil belajar yang minimal (prestasinya rendah), namun apabila pendidik dengan secara cermat dapat mengamati – sehingga dapat diperoleh bukti bahwa dengan nilai-nilai hasil test, hasil belajar yang rendah itu sebenarnya sudah merupakan hasil usaha yang sungguh-sungguh (sangat rajin dalam mengikuti pelajaran, tekun didalam belajar dan sebagainya), maka sudah selayaknya kepada peserta didik tersebut dapat diberikan nilai penunjuang sebagai penghargaan atas usaha sungguh-sungguh dari peserta didik itu, tanpa mengenal rasa putus asa.
Sebaliknya bagi peserta didik yang memiliki nilai-nilai hasil tes hasil belajar yang rendah tetapi dengan nilai-nilai yang rendah itu peserta didik tadi tidak tampak adanya usaha yang sungguh-sungguh untuk memperbaiki prsetasinya (malas dalam mengikuti pelajaran, sering membolos, belajar setengah-setengah dan sebagainya), maka adalah cukup beralasan bagi pendidik untuk memberikan nilai akhir menurut apa adanya.
C. Aspek Pribadi dan Sosial (personal and social characterisitics)
Karakter yang dimiliki oleh peserta didik baik sebagai individu maupun sebagai anggota kelompok perlu juga mendapat pertimbangan dalam penentuan nilai akhir.
Seorang peserta didik yang sekalipun prestasi belajarnya tergolong menonjol namun akhlaknya tidak baik, indisipliner, sering berbuat curang atau berbuat onar dan sebagainya perlu mendapatkan ”hukuman” seimbang berupa pengurangan nilai akhir.
D. Kebiasaan Bekerja (working habits)
Yang dimaksud dengan kebiasaan kerja disini adalah hal-hal yang berhubungan dengan kebiasaan melakukan tugas. Misalnya: tepat waktu atau tidaknya dalam menyerahkan pekerjaan rumah (PR), rapih tidaknya hasil pekerjaan rumah tersebut, ketelitiannya dalam menghitung dan sebagainya. Dapat juga dimasukan disini: kebersihan badan, kerapian berpakaian dan sebagainya.
IV. CARA MENENTUKAN NILAI AKHIR
Tiap guru mempunyai pendapat sendiri tentang cara menentukan nilai akhir. Hal ini sangat dipengaruhi oleh pandangan mereka terhadap penting dan tidaknya bagian yang dilakukan siswa. Yang dimaksudkan dengan kegiatan-kegiatan siswa misalnya: menyelesaikan tugas, mengikuti diskusi, menempuh tes formatif, menempuh tes tengah semester, tes semester, rajin dalam mengikuti proses KBM, dan sebagainya.
Penentuan nilai akhir dilakukan terutama pada waktu guru akan mengisi raport atau STTB. Biasanya dalam menentukan nilai akhir ini guru sudah dibimbing oleh suatu peraturan atau pedoman yang dikeluarkan oleh pemerintah atau kantor/badan yang membawahinya.
Dibawah ini terdapat beberapa rumus untuk menetukan nilai akhir yaitu sebagai berikut:
NA=
Keterangan: NA = nilai akhir, F=nilai tes formatif dan S=nilai tes sumatif.
NA=
Keterangan: NA = nilai akhir, T=nilai tugas, H=nilai ulangan harian (rata-ratanya) dan U=nilai ulangan umum.
V. KESIMPULAN
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa :
1. Nilai akhir ini merupakan kesimpulan nilai-nilai yang dicapai oleh siswa dalam ujian akhir dan rangkaian kegiatan yang telah dilakukannya.
2. Nilai akhir melambangkan tingkat keberhasilan peserta didik setelah mereka mengikuti program pendidikan pada jenjang pendidikan tertentu, dalam jangka waktu yang telah ditentukan.
3. Fungsi nilai akhir meliputi: fungsi intruksional, fungsi informatif, fungsi bimbingan dan fungsi administratif.
4. Faktor-faktor pertimbangan dalam menentukan nilai akhir adalah: prestasi/pencapaian, usaha, aspek pribadi dan sosial, dan kebiasaan bekerja.
5. Untuk menentukan nilai akhir digunakanrumus-rumus seperti : NA= dan NA=
SUMBER BACAAN
Anas Sudijono, ”Pengantar Evaluasi Pendidikan” Jakarta: Rajawali Pers, 2009
Suharsimi Arikunto, ”Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan” Jakarta: Bumi Aksara, 2009
Data nilai dapat mencakup nilai tugas, nilai ulangan harian, nilai ujian tengah semester, nilai ujian akhir semester dan nilai rangkaian kegiatan, seperti penulisan karangan, pekerjaan rumah, partisipasi dalam kelas, praktek dan sebagainya. Nilai akhir yang diberikan kepada siswa ditentukan berdasar nilai akhir tersebut, sehingga nilai akhir ini merupakan kesimpulan nilai-nilai yang dicapai oleh siswa dalam ujian akhir dan rangkaian kegiatan yang telah dilakukannya. Dalam menentukan nilai akhir, bobot nilai-nilai yang merupakan komponennya perlu ditentukan dan diberitahukan kepada siswa.
Sistem penilaian yang sesuai dengan maksud dan tujuan yang telah disebutkan di atas adalah sistem penilaian relatif, yaitu sistem yang digunakan untuk menilai kemampuan siswa yang lain dalam kelasnya. Ini berarti bahwa prestasi seluruh siswa dalam suatu kelas dipakai sebagai dasar penilaian.
Dalam hal ini digunakan anggapan bahwa dalam suatu kelompok siswa, dalam jumlah yang cukup besar, pasti terdapat siswa yang kemampuannya amat baik, cukup, kurang, dan jelek. Kepada kelompok siswa yang berkemampuan amat baik diberikan nilai 90, para siswa yang termasuk dalam kelompok baik diberi nilai 80, yang berkemampuan cukup diberi nilai 70, nilai 60 diberikan kepada kelompok siswa yang berkemampuan kurang, sedang kelompok siswa yang berkemampuan jelek diberi nilai 50.
Dengan demikian nilai-nilai angka 91-100, 81-90, 71-80, 61-70, dan 51-60 mempunyai arti sebagai berikut:
91-100 = amat baik
81-90 = baik
71-80 = cukup
61-70 = kurang
51-60 = jelek
Bagi seorang siswa, nilai merupakan sesuatu yang sangat penting karena nilai merupakan cermin dari keberhasilan belajar. Namun bukan hanya siswa sendiri saja yang memerlukan cerminan keberhasilan belajar; guru dan dan orang lainnyapun, memerlukannya. Sehingga pemberian nilai akhir bagi siswa menjadi sangat penting dalam rangka memetakan kemampuan siswa berdasarkan kriteria yang telah disebutkan diatas.
II. PENGERTIAN DAN FUNGSI NILAI AKHIR
A. PENGERTIAN NILAI AKHIR
Nilai akhir sering juga dikenal dengan istilah nilai final adalah, nilai baik berupa angka atau huruf yang melambangkan tingkat keberhasilan peserta didik setelah mereka mengikuti program pendidikan pada jenjang pendidikan tertentu, dalam jangka waktu yang telah ditentukan.
Penentuan nilai akhir oleh seorang pendidik terhadap peserta didiknya pada dasarnya merupakan pemberian dan penentuan pendapat pendidik terhadap peserta didiknya, terutama mengenai perkembangan, kemajuan dan hasil-hasil yang telah dicapai oleh peserta didik yang berada dibawah asuhannya, setelah mereka menempuh proses pembelajaran dalam jangka waktu tertentu.
B. FUNGSI NILAI AKHIR
Secara garis besar memiliki empat macam fungsi yaitu: fungsi intruksional, fungsi informatif, fungsi bimbingan dan fungsi administratif.
1. Fungsi Intruksional
Tidak ada tujuan yang lebih penting dalam proses belajar mengajar kecuali mengusahakan agar perkembangan dan belajar siswa mencapai tingkat optimal. Pemberian nilai merupakan salah satu cara dalam usaha ke arah tujuan itu, asal dilakukan dengan hati-hati dan bijaksana.
Pemberian nilai merupakan suatu pekerjaan yang bertujuan untuk memberikan suatu balikan (feed back / umpan balik) yang mencerminkan seberapa jauh seorang siswa telah mencapai tujuan yang ditetapkan dalam pengajaran atau sistem instruksional.
Apabila pemberian nilai dapat dilakukan dengan cermat dan terperinci, maka akan lebih mudah diketahui pula keberhasilan dan kegagalan siswa disetiap bagian tujuan. Oleh karena itu, penggabungan nilai dari berbagai nilai sehingga menjadi nilai akhir, kadang-kadang dapat menghilangkan arti dari petunjuk yang semula telah disajikan secara teliti.
Nilai rendah yang diperoleh seorang atau beberapa siswa, jika disajikan dalam keadaan yang terperinci akan membantu siswa dalam usaha memperbaiki dan memberi motivasi peningkatan prestasi berikutnya. Bagi pengelola pengajaran, sajian terperinci nilai siswa dapat berfungsi menunjukan begian-bagian proses mana yang perlu diperbaiki.
2. Fungsi Informatif
Memberikan nilai siswa kepada orang tuanya mempunyai arti bahwa orang tua tersebut menjadi tahu akan kemajuan dan prestasi putranya di sekolah. Catatan ini akan sangat berpengaruh, terutama bagi orang tua yang ikut serta menyadari tujuan sekolah dan perkembangan putranya. Dengan catatan ini orang tua akan:
a. sadar terhadap keadaan putranya, untuk kemudian lebih baik memberi bantuan berupa perhatian, dorongan ataupun bimbingan, dan
b. hubungan orang tua dengan sekolah semakin lebih baik.
3. Fungsi Bimbingan
Pemberian nilai kepada siswa akan mempunyai arti besar bagi pekerjaan bimbingan. Dengan perincian gambaran nilai siswa, petugas bimbingan akan segera tahu bagian-bagian mana dari usaha siswa disekolah yang masih memerlukan bantuan. Catatan lengkap yang juga mencakup tingkat (rating) dalam kepribadian siswa serta sifat-sifat yang berhubungan denga rasa sosial akan sangat membantu siswa dalam mengarahkannya sebagai pribadi yang seutuhnya.
4. Fungsi Administratif
Secara administratif pemberian nilai akhir oleh seorang pendidik terhadap peserta didiknya itu memiliki fungsi sebagai berikut:
a. Menentukan kenaikan dan kelulusan siswa.
b. Memindahkan atau menempatkan siswa.
c. Memberikan beasiswa.
d. Memberikan rekomendasi untuk melanjutkan belajar.
e. Memberi gambaran tentang prestasi siswa/lulusan kepada para calon pemakai tenaga kerja.
III. FAKTOR-FAKTOR PERTIMBANGAN DALAM MENENTUKAN NILAI AKHIR
Walaupun hal yang dinilai tidak sama bagi setiap sekolah, namun secara garis besar dapat ditentukan unsur umum dalam penilaian yang menyangkutnya faktor-faktor yang harus dipertimbangkan. Unsur-unsur umum tersebut itu adalah: prestasi/pencapaian, usaha, aspek pribadi dan sosial, kebiasaan bekerja.
A. Prestasi / Pencapaian (achievment)
Nilai prestasi harus mencerminkan tingkatan-tingkatan siswa sejauh mana telah dapat mencapai tujuan yang ditetapkan di setiap bidang studi.
Simbol yang digunakan untuk menyatakan nilai, bail huruf maupun angka, hendaknya hanya merupakan gambaran tentang prestasi saja. Unsur pertimbangan atau kebijaksanaan guru tentang usaha dan tingkah laku siswa tidak boleh ikut berbicara pada nilai tersebut.
B. Usaha (effort)
Disamping nilai-nilai hasil belajar yang diacapai oleh peserta didik, faktor usaha yang telah mereka lakukan juga perlu mendapat pertimbangan dalam rangka penentuan nilai akhir. Sekalipun misalnya seorang peserta didik hanya dapat mencapai nilai-nilai hasil belajar yang minimal (prestasinya rendah), namun apabila pendidik dengan secara cermat dapat mengamati – sehingga dapat diperoleh bukti bahwa dengan nilai-nilai hasil test, hasil belajar yang rendah itu sebenarnya sudah merupakan hasil usaha yang sungguh-sungguh (sangat rajin dalam mengikuti pelajaran, tekun didalam belajar dan sebagainya), maka sudah selayaknya kepada peserta didik tersebut dapat diberikan nilai penunjuang sebagai penghargaan atas usaha sungguh-sungguh dari peserta didik itu, tanpa mengenal rasa putus asa.
Sebaliknya bagi peserta didik yang memiliki nilai-nilai hasil tes hasil belajar yang rendah tetapi dengan nilai-nilai yang rendah itu peserta didik tadi tidak tampak adanya usaha yang sungguh-sungguh untuk memperbaiki prsetasinya (malas dalam mengikuti pelajaran, sering membolos, belajar setengah-setengah dan sebagainya), maka adalah cukup beralasan bagi pendidik untuk memberikan nilai akhir menurut apa adanya.
C. Aspek Pribadi dan Sosial (personal and social characterisitics)
Karakter yang dimiliki oleh peserta didik baik sebagai individu maupun sebagai anggota kelompok perlu juga mendapat pertimbangan dalam penentuan nilai akhir.
Seorang peserta didik yang sekalipun prestasi belajarnya tergolong menonjol namun akhlaknya tidak baik, indisipliner, sering berbuat curang atau berbuat onar dan sebagainya perlu mendapatkan ”hukuman” seimbang berupa pengurangan nilai akhir.
D. Kebiasaan Bekerja (working habits)
Yang dimaksud dengan kebiasaan kerja disini adalah hal-hal yang berhubungan dengan kebiasaan melakukan tugas. Misalnya: tepat waktu atau tidaknya dalam menyerahkan pekerjaan rumah (PR), rapih tidaknya hasil pekerjaan rumah tersebut, ketelitiannya dalam menghitung dan sebagainya. Dapat juga dimasukan disini: kebersihan badan, kerapian berpakaian dan sebagainya.
IV. CARA MENENTUKAN NILAI AKHIR
Tiap guru mempunyai pendapat sendiri tentang cara menentukan nilai akhir. Hal ini sangat dipengaruhi oleh pandangan mereka terhadap penting dan tidaknya bagian yang dilakukan siswa. Yang dimaksudkan dengan kegiatan-kegiatan siswa misalnya: menyelesaikan tugas, mengikuti diskusi, menempuh tes formatif, menempuh tes tengah semester, tes semester, rajin dalam mengikuti proses KBM, dan sebagainya.
Penentuan nilai akhir dilakukan terutama pada waktu guru akan mengisi raport atau STTB. Biasanya dalam menentukan nilai akhir ini guru sudah dibimbing oleh suatu peraturan atau pedoman yang dikeluarkan oleh pemerintah atau kantor/badan yang membawahinya.
Dibawah ini terdapat beberapa rumus untuk menetukan nilai akhir yaitu sebagai berikut:
NA=
Keterangan: NA = nilai akhir, F=nilai tes formatif dan S=nilai tes sumatif.
NA=
Keterangan: NA = nilai akhir, T=nilai tugas, H=nilai ulangan harian (rata-ratanya) dan U=nilai ulangan umum.
V. KESIMPULAN
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa :
1. Nilai akhir ini merupakan kesimpulan nilai-nilai yang dicapai oleh siswa dalam ujian akhir dan rangkaian kegiatan yang telah dilakukannya.
2. Nilai akhir melambangkan tingkat keberhasilan peserta didik setelah mereka mengikuti program pendidikan pada jenjang pendidikan tertentu, dalam jangka waktu yang telah ditentukan.
3. Fungsi nilai akhir meliputi: fungsi intruksional, fungsi informatif, fungsi bimbingan dan fungsi administratif.
4. Faktor-faktor pertimbangan dalam menentukan nilai akhir adalah: prestasi/pencapaian, usaha, aspek pribadi dan sosial, dan kebiasaan bekerja.
5. Untuk menentukan nilai akhir digunakanrumus-rumus seperti : NA= dan NA=
SUMBER BACAAN
Anas Sudijono, ”Pengantar Evaluasi Pendidikan” Jakarta: Rajawali Pers, 2009
Suharsimi Arikunto, ”Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan” Jakarta: Bumi Aksara, 2009
Selasa, 14 Juli 2009
Demokrasi Pendidikan Islam
Mewujudkan Demokratisasi Pendidikan Islam
A. Ngawiti
Demokrasi tampaknya telah menjadi istilah penting sekaligus menjadi tuntutan sosio-politik warga bangsa di dunia. Tak heran jika terma ini menjadi issue paling populer sejak beberapa waktu terakhir. Jauh sebelum dibukanya kran global di bidang ekonomi yang kemudian berdampak pada semangat keterbukaan berbagai bidang lain, istilah dan praktik demokrasi sebenarnya sudah populer dan sejak beberapa waktu terakhir makin mengemuka. Praktik demokrasi pada dasarnya bertumpu pada pelibatan publik untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan-keputusan politik, baik di internal sebuah bangsa maupun kawasan internasional, termasuk di tingkat nasional maupun regional dan lokal
Meski pada awalnya digunakan dan akrab dengan terma politik, namun seiring dinamika publik dan terbukanya era postmodernisme, istilah tersebut kemudian mengilhami pula berbagai bidang lain, seperti bidang sosial, ekonomi, budaya dan agama, termasuk pendidikan. Dalam konteks pendidikan, penerapan prinsip-prinsip demokrasi telah menjadi tuntutan sejalan dengan tumbuhnya kesadaran para pengelola lembaga pendidikan di negara-negara maju dan negara sedang berkembang untuk mengimplementasikan prinsip-prinsip keterbukaan, orientasi pelayanan serta dinamisasi dan adaptasi penyelenggaraan pendidikan dalam merespon berbagai perubahan yang mengitarinya.
Di Indonesia, tuntutan untuk menerapkan prinsip-prinsip demokrasi dalam praktik penyelenggaraan pendidikan muncul seiring dengan arus reformasi tahun 1998 yang ditandai dengan tumbangnya H.M. Soeharto dari singgasana kepemimpinan nasional yang didudukinya selama lebih dari 32. Peristiwa ini ternyata membawa angin segar bagi perubahan berbagai tatanan kehidupan di negeri Jamrud Khatulistiwa ini, termasuk pada bidang pendidikan. Jika awalnya ditujukan untuk melakukan perbaikan tatanan di bidang politik dalam bentuk suksesi kepemimpinan nasional, pengaruh reformasi pun kemudian menjalar ke bidang pendidikan. Pemerintah pun sejak tahun 1999 mengeluarkan berbagai kebijakan yang reformatif untuk melakukan perubahan di sektor ini.
UU Nomor 22/1999 dan UU 20/2003 menjadi dua energi positif bagi perubahan arah kebijakan pendidikan yang bertumpu pada paradigma otonomisasi dan demokratisasi. Ini sejalan dengan refleksi pemikiran dan kebijakan untuk melakukan peningkatan mutu proses dan hasil belajar sekaligus memperbesar kemampuan pendidikan untuk responsif dan adaptif terhadap perubahan. Pendidikan di Indonesia, menurut Dede Rosyada , pada akhir abad ke20 dan awal abad ke-21 tengah menghadapi dua masalah besar sekaligus, baik internal maupun eksternal. Pada sisi internal, masalah rendahnya mutu masih menghinggapi dunia pendidikan sehingga pemerintah kemudian melakukan peningkatan mutu pendidikan melalui berbagai penataan dan restrukturisasi strategi pengembangan yang jauh lebih tepat, akurat dan akseleratif. Sementara era global yang menjadi tantangan bagi dunia pendidikan merupakan persoalan eksternal yang dihadapi bidang ini.
Pada era orde baru, kebijakan pendidikan dilakukan secara sentralistik dan semua kewenangannya berada di tangan pemerintah pusat seperti diatur UU Nomor 2/1989. Semuanya serba bernuansa pusat, kurikulum diatur pemerintah pusat, dana diatur ”penguasa” di tingkat pusat, demikian juga model belajar, rekrutmen pegawai, pengadaan sarana pendidikan dan sebagainya dikelola para dedengkot republik di ibu kota negara di Jakarta. Bahkan, evaluasi belajar pun diatur pemerintah pusat, seperti tercermin pada model Ebtanas, bahkan itu juga masih berpengaruh pada era reformasi melalui penyelenggaraan Ujian Akhir Nasional (UAN) dan Ujian Nasional (UN)
Semangat reformasi kemudian membawa perubahan yang radikal bahkan revolusioner di dunia pendidikan. Paradigma ”serba pusat” dan pengelolaan pendidikan yang tersentral itu kemudian diubah. Desentralisasi kewenangan –bukan pemindahan kekuasaan—dari pemerintah pusat seiring dengan semangat otonomi daerah (otda) juga mengakomodir riak-riak di daerah yang menghendaki agar bidang ini diotonomikan.
UU 22/1999 menempatkan pendidikan sebagai salah satu sektor yang diotonomisasikan bersama-sama dengan bidang-bidang pembangunan berbasis kedaerahan lainnya seperti pertanian, kehutanan, pariwisata, koperasi dan sektor lainnya kepada pemerintah di daerah. Otonomi pendidikan pun kemudian didorong pada tingkat sekolah dengan harapan agar kepala sekolah, guru dan komponen kependidikan lain di sekolah diberi kewenangan penuh sekaligus bertanggung jawab meningkatkan kualitas proses dan hasil belajarnya, sementara pemerintah daerah hanya bertindak selaku fasilitator bagi pemenuhan berbagai kebutuhan pendidikan seperti sarana dan prasarana, ketengaan serta kebutuhan berbagai program lain yang direncanakan sekolah.
Sementara itu, terbitnya UU 20/2003 memunculkan semangat baru dalam mewujudkan demokratisasi di sektor ini melalui upaya memperbesar partisipasi masyarakat dan pelibatan siswa dalam proses pembelajaran. Masyarakat tidak hanya dituntut memberikan retribusi uang sumbangan pendidikan kepada sekolah, tapi juga diberi ruang untuk terlibat aktif dalam pembahasan dan kajian dalam mengidentifikasi berbagai permintaan stakeholders dan user sekolah mengenai kompetensi siswa yang akan dihasilkannya. Pemberian peluang ini ditujukan agar masyarakat turut memperkaya substansi kurikulum serta menuntut kreativitas dan dinamika pengelolaan sekolah agar dapat melayani permintaan-permintaan tersebut dengan tetap berpijak pada perkembangan psikologis dan kemampuan siswa serta kesanggupan sekolah dalam memberikan pelayanan kepada ”klien”-nya. Sedangkan siswa diarahkan untuk aktif dalam proses pembelajaran dan diberi kesempatan untuk menentukan aktivitas belajar yang mereka lakukan bersama-sama dengan guru mereka. Hal ini diharapkan akan membuat suasana belajar menjadi menyenangkan, dinamis dan penuh keceriaan karena aspiratif dan sesuai permintaan siswa .
Masalah demokratisasi dan otonomisasi pendidikan itu mendapat perhatian demikian besar dari pemerintah, pengelola sekolah dan berbagai pihak lain yang terkait dengan penyelenggaraan pendidikan persekolahan. Semangat reformasi dalam pendidikan di tanah air itu kemudian diarahkan pada tuntutan baru agar pendidikan bisa diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan. Ini terkait dengan bagaimana pihak sekolah mampu bermitra secara positif dengan masyarakat selaku stakeholders dan user pendidikan, termasuk memaksimalkan potensi dan partisipasi siswa dalam proses belajar yang diselenggarakannya.
Pendidikan Islam --khususnya yang formal seperti terimplementasi pada penyelenggaraan pendidikan di Madrasah Ibtidaiyyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs)), Madrasah Aliyah (MA) maupun Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) mau tidak mau harus menjadikan dua semangat tersebut sebagai inspirasi dalam penyelenggaraan pendidikannya. Karena madrasah dan PTAI merupakan jalur pendidikan formal yang menjadi bagian Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Ini pula yang menurut Malik Fadjar merupakan keunggulan Sisdiknas yang demikian akomodatif dalam mengintegrasikan pranata-pranata pendidikan yang beragam ke dalam bangunan sistemik pendidikan nasional.
Pada dasarnya, menurut Haidar Putra Daulay , pendidikan Islam bertujuan membentuk pribadi muslim seutuhnya, mengembangkan seluruh potensi manusia baik yang berbentuk jasmaniah maupun ruhaniyah, menumbuhsuburkan hubungan harmonis setiap pribadi dengan Allah, manusia dan alam semesta. Pengertian ini menunjukkan pada sebuah kesimpulan bahwa pendidikan Islam pada dasarnya berupaya untuk mengembangkan individu sepenuhnya beserta semua potensi yang dimilikinya.
Melalui makalah yang menggunakan model penelitian analisis deskriptif ini, penulis tidak hanya ingin mengurai demokrasi dalam perspektif dan pemaknaan penganut mazhab pemikiran modern, akan tetapi juga bermaksud melacaknya dari semangat ajaran dasar Islam sekaligus semangat dan praktik keagamaan umatnya sehingga bisa dipertautkan dengan upaya mengadaptasikan semangat tersebut dalam praktik pendidikan Islam kontemporer. Pembahasan mengenai demokrasi dan manusia dalam Islam, demokratisasi pendidikan, civil society dan pendidikan multikultural juga merupakan sub-sub tema yang akan dibahas dalam makalah ini.
B. Mengurai Makna Melacak Jejak
Demokrasi memang cukup populer sebagai terma yang sangat dekat dengan dunia barat, karena istilah ini pada zaman modern dipopulerkan bahkan dijadikan issue utama oleh para ilmuwan dan politisi di negara-negara barat. Kita mengenal umpamanya jargon demokrasi Abraham Lincoln yang demikian populer. Presiden Amerika Serikat itu memberikan batasan demokrasi dengan ungkapan Government from the people, with the people and for the poeple. Nathan Tarcov memberikan batasan makna demokrasi sebagai kekuasaan di tangan rakyat. Istilah ini jika dilacak lebih jauh ternyata berasal dari dua kata berbahasa Yunani, Demos yang berarti rakyat dan kratos yang berarti kekuasaan. Inti dari pengertian ini, menurut Tarcov, bermuara pada pelibatan rakyat terhadap berbagai kebijakan pemerintah dan keputusan publik dalam kekuasaan negara.
Meski istilah ini dipopulerkan para ilmuwan dan politisi di negara-negara barat, namun bukan berarti prinsip-prinsip demokrasi tidak bisa dilacak dari nilai-nilai ajaran Islam. Karena semangat dan praktik berdemokrasi pada dasarnya bisa ditemukan pada prinsip-prinsip ajaran Islam, baik dari al-Qur’an maupun hadits serta praktik kehidupan di zaman Nabi Muhammad SAW, Khulafaur Rasyidin, dan tradisi Sunni.
Merujuk pada sejumlah ayat al-Qur’an, nilai-nilai demokrasi itu tercermin pada sejumlah ajaran dasar Islam mengenai hal ini, antara lain melalui: Pertama, pluralisme beragama dalam surat al-Kafirun ayat 6: ”Bagiku agamaku dan bagimu agamamu”. Ayat tersebut membuktikan bahwa Islam memberikan kebebasan beragama dan mengakomodasi kelompok agama dan budaya-budaya lain. Kedua, prinsip kebebasan beragama yang tercermin dalam Surat al-Baqarah ayat 256: "Tidak ada paksaan dalam memeluk (agama) Islam..." Ketiga, Surat asy-Syura ayat 36: “Dan orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka diputuskan dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka.”
Musyawarah menurut beberapa literatur penting cukup menonjol dikaitkan dengan pembahasan mengenai prinsip-prinsip Islam mengenai demokrasi. Kata ini merupakan bentuk masdar dari kata “syawara” yang secara etimologis memiliki beragam arti, antara lain memeras madu dari sarang lebah, memelihara tubuh binatang ternak saat membelinya, menampilkan diri dalam perang serta meminta pendapat dan mencari kebenaran . Arti yang disebutkan terakhir merupakan makna yang sering digunakan dalam mengartikan kata “Syawara”. Sementara secara terminologis, Arif Khalil mendefinisikan makna syura dengan batasan “memunculkan pendapat-pendapat dari orang-orang yang berkompeten untuk sampai pada kesimpulan yang paling tepat.” Praktik musyawarah dalam prinsip ajaran dan praktik sosial-keagamaan umat Islam yang ditujukan untuk mencapai kemufakatan.
Dengan merujuk pada Surat Asy-Syura ayat 36, jelaslah bahwa Islam telah memosisikan musyawarah sebagai pilar demokrasi pada tempat yang istimewa. Pemosisian musyawarah pada kedudukan yang istimewa itu terepresentasi dari penyebutan syura dalam Q.S. asy-Syura ayat 36 secara berdampingan dengan shalat sebagai satu ibadah fardhu ‘ain.
Prinsip musyawarah yang bertumpu pada pelibatan banyak orang untuk menentukan sebuah keputusan atau mencari kebenaran tersebut memiliki korelasi positif dengan prinsip-prinsip demokrasi modern. Karena dalam tradisi dan prinsip modern, demokrasi bukan terletak pada penerapan sistem trias politika yang membagi pemerintahan menjadi tiga lembaga yakni eksekutif, yudikatif dan legislatif, melainkan justru terletak pada sistem checks and balances yang berlangsung dalam praktik pemerintahan sebagai kontrol rakyat terhadap para pemimpinnya . Model check and balance itu akan bisa berjalan secara efektif bila semua elemen yang terlibat dalam praktik pemerintahan itu mengedepankan semangat dan prinsip keterbukaan. Pemerintahan akan berjalan efektif, efisien dan egaliter terhadap upaya mengakomodasi berbagai kepentingan rakyat sebagai pemegang kekuasaan.
Amien Rais mengungkap lima prinsip dasar bagi praktik demokrasi dalam pemerintahan menurut Islam yakni: Pertama, pemerintahan harus dilandaskan pada keadilan. Kedua, sistem politik harus dilandaskan pada prinsip syura dan musyawarah. Ketiga, terdapat prinsip kesetaraan yang tidak membedakan orang atas dasar gender, etnik, warna kulit, atau latar belakang sejarah, sosial atau ekonomi dan lain-lain. Keempat, kebebasan berfikir, berpendapat, pers, beragama, kebebasan dari rasa takut, hak untuk hidup, mengadakan gerakan dan lain-lain. Dan kelima, pertanggungjawaban para pemimpin kepada rakyat atas kebijakan-kebijakan mereka.
Semangat keterbukaan merupakan nafas yang sejalan dengan prinsip musyawarah dalam Islam. Musyawarah ditempatkan sebagai cara pengambilan keputusan. Prinsip musyawarah ini menjadi rujukan dalam pengambilan keputusan-keputusan penting di dunia Islam, khususnya dalam bidang politik. Hal itu seperti terepresentasi pada model pemilihan khulafaur Rasyidin sepeninggal Rasululah SAW yang dilakukan melalui mekanisme penentuan dengan melibatkan banyak sahabat rasul sebagai pemilihnya. Prinsip ini pun antara lain bisa dilacak pada tradisi politik kelompok Sunni. Karena selain digunakan untuk menyebut aliran atau kelompok keagamaan dalam Islam yang menerima otoritas sunnah Nabi Muhammad SAW dan otoritas seluruh generasi pertama umat Islam serta validnya kesejarahan komunitas mayoritas muslim, istilah Sunni merujuk pada tesis Abdurrahman Mas’ud juga digunakan dalam konteks politik untuk menunjuk pada orang atau komunitas yang menggunakan kekuatan mayoritas (jamaah) guna menghindari perpecahan umat akibat sebuah persoalan, khususnya dalam bidang politik.
Pada era Nabi Muhammad SAW hidup, konsep demokrasi salah satunya bisa dirujuk pada Piagam Madinah yang dianggap banyak pihak sebagai konsep Islam praktis yang sangat mendukung penerapan demokrasi di tengah masyarakat. Piagam Madinah, menurut Sumanto al-Qurtubi memuat dua prinsip yakni Pertama, prinsip kesederajatan dan keadilan serta prinsip keterbukaan (inklusivisme).
Sementara William Montgomery Watt menyebut Piagam Madinah atau "Konstitusi Madinah" sebagai konstitusi modern pertama yang memperkenalkan wacana kebebasan beragama, persaudaraan antaragama, perdamaian dan kedamaian, persatuan, etika politik, hak dan kewajiban warga negara, serta konsistensi penegakan hukum berdasarkan kebenaran dan keadilan.
Berbagai penjelasan di atas menyiratkan bahwa prinsip-prinsip ajaran Islam sangat mendukung semangat demokrasi dalam praktik kehidupan umatnya dan manusia secara umum di dunia sebagai perwujudan Islam sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin. Hal ini juga menyiratkan bahwa praktik-praktik demokrasi dalam pendidikan Islam memiliki sandaran filosofis dan teologis yang sangat kuat. Prinsip-prinsip demokrasi itu antara lain terwujud dalam semangat keadilan, musyawarah atau pelibatan orang banyak dalam pengambilan keputusan, kesetaraan, kebebebasan dan pertanggungjawaban.
Dengan demikian, praktik demokrasi dalam pendidikan Islam sesungguhnya sesuai dengan prinsip-prinsip dasar agama Islam sekaligus memiliki pijakan historis dalam praktik keberagamaan dan kemasyarakatan di dunia Islam sejak zaman Nabi Muhammad SAW hingga kini. Sehingga, penerapan demokrasi dalam pendidikan Islam tidak perlu disikapi secara antagonistis akibat telah dipopulerkan oleh para intelektual dan dalam praktik politik di negara-negara barat. Karena pada dasarnya, secara asasi ajaran Islam memuat kandungan mengenai hal ini sekaligus mendukung prinsip-prinsip demokrasi dalam membentuk kehidupan umat yang madani.
Dalam konteks pendidikan –termasuk pendidikan Islam--, implementasi prinsip-prinsip demokrasi tersebut secara ideal mesti diwujudkan pada bagaimana proses pendidikan itu mengakomodir semangat demokrasi dalam penyelenggaraannya. Karena kajian ini merupakan bagian dari filsafat pendidikan Islam --khususnya wilayah epistemologi--, maka demokratisasi pendidikan Islam tak hanya mesti diarahkan dalam kaitan dengan penyelenggaraan pendidikan persekolahan dalam lingkup pemenuhan kebutuhan yang menyeluruh pada aspek pendanaan, pemenuhan kebutuhan, pengelolaan kegiatan kependidikan dan kegiatan lainnya, akan tetapi yang lebih utama adalah menjadikan semangat tersebut sebagai dasar pijakan filosofis sebagai landasan penyelenggaraan kegiatan akademik pada sub sistem pendidikan Islam di tanah air. Dalam konteks penyelenggaraan kegiatan akademik di sekolah, prinsip demokratisasi itu menyangkut masalah pendidikan sebagai upaya yang melibatkan dan memberdayakan manusia sebagai peserta didik, pelibatan masyarakat serta pelayanan pendidikan tanpa diskriminasi.
C. Demokratisasi Pendidikan
Meski dalam kegiatan politik mekanisme berdemokrasi berbeda dengan praktik di lembaga pendidikan, namun secara substantif prinsip-prinsip demokrasi tersebut bisa diterapkan dalam kegiatan pendidikan. Dede Rosyada mendefinisikan sekolah demokratis sebagai membawa semangat demokrasi tersebut dalam perencanaan, pengelolaan dan evaluasi penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Pengertian yang sama mengenai sekolah demokrasi juga dikemukakan James A. Beane dan Michael W. Apple . Menurutnya, sekolah demokratis adalah kegiatan mengimplementasikan pola-pola demokratis dalam pengelolaan sekolah yang secara umum mencakup dua aspek yakni struktur organisasi dan prosedur kerja dalam struktur tersebut serta merancang kurikulum yang bisa mengantarkan anak-anak didik memiliki berbagai pengalaman tentang praktik-praktik demokratis.
Berkaitan dengan perwujudan prinsip-prinsip demokratisasi dalam penyelenggaraan pendidikan atau upaya menciptakan sekolah demokratis, menurut Dede Rosyada, semua pihak terkait baik pemerintah, pengelola sekolah maupun masyarakat harus mewujudkan tiga aspek penting, yakni: Pertama, demokratisasi dalam penyusunan, pengembangan dan implementasi kurikulum di sekolah. Kedua, demokratisasi dalam proses pembelajaran sejak penyiapan program pembelajaran sampai implementasi proses pembelajaran dalam kelas dengan memberikan perhatian pada aspirasi siswa, tidak mengabaikan mereka yang lamban dalam proses pemahaman dan tidak merugikan mereka yang cepat dalam memahami bahan ajar dengan tujuan akhir mencapai batas minimal kompetensi sesuai angka yang ditetapkan bersama dalam koridor mastery learning. Ketiga, demokratisasi dalam pengelolaan sekolah yang memperbesar pelibatan teamwork dalam proses pengambilan keputusan, perencanaan program, pendistribusian tugas dan wewenang serta perubahan paradigma dalam menilai produktivitas kerja setiap unsur dalam organisasi sekolah dengan orientasi kepuasan pelanggan atau klien sekolah.
Dengan demikian, prinsip-prinsip demokrasi semestinya terimplementasikan dalam tiga aspek penting penyelenggaraan pendidikan, yakni demokratisasi dalam penyusunan kurikulum, demokratisasi dalam proses belajar dan demokratisasi pengelolaan sekolah yang bertumpu pada kerja kolektif dan pelibatan seluruh team work penyelenggara pendidikan. Ketiga aspek tersebut harus diarahkan untuk agar bisa berjalan secara integral dalam mendukung penerapan sekolah demokratis. Jika salah satu aspek tersebut tidak bisa dilaksanakan dengan mengacu pada prinsip-prinsi demokrasi, maka perwujudan sekolah demokratis sulit dilakukan, atau paling tidak bakal menemui hambatan berarti.
James A. Beane dan Michael W. Apple mensyaratkan sejumlah kondisi yang harus dikembangkan untuk membangun sekolah demokratis, yakni: Pertama, keterbukaan saluran ide dan gagasan sehingga semua orang bisa menerima informasi seoptimal mungkin. Kedua, memberikan kepercayaan kepada individu-individu dan kelompok sesuai kapasitas yang mereka miliki untuk menyelesaikan berbagai persoalan sekolah. Ketiga, menyampaikan kritik sebagai hasil analisis dalam proses penyampaian evaluasi terhadap ide-ide, problem-problem dan berbagai kebijakan yang dikeluarkan pihak sekolah.Keempat, memperlihatkan kepedulian terhadap kesejahteraan orang lain dan terhadap persoalan-persoalan publik. Kelima, ada kepedulian terhadap harga diri, hak-hak individu dan hak-hak minoritas. Keenam, pemahaman bahwa demokrasi yang dikembangkan belumlah mencerminkan demokrasi yang diidealkan sehingga demokrasi harus terus dikembangkan dan bisa membimbing keseluruhan hidup manusia dan ketujuh terdapat sebuah institusi yang dapat terus mempromosikan dan mengembangkan cara-cara hidup demokratis.
D. Pendidikan yang Memanusiakan
Saat membahas pendidikan, maka tentu saja sangat penting memasukkan tema mengenai manusia. Karena proses pendidikan pada dasarnya dilakukan sebagai upaya memanusiakan manusia. Upaya ini ditujukan untuk memberi kesempatan kepada peserta didik agar bisa mengaktualisasikan dan menumbuhkembangkan potensi-potensi dasar atau fitrahnya.
Berkaitan dengan manusia, ajaran Islam sesungguhnya telah menggariskan batasan yang jelas. Ini bisa dirujuk dari proses penciptaan manusia sebagai makhluk dengan dimensi jasadi yang merupakan bagian dari alam semesta ciptaan Allah SWT serta aspek ruhi yang memiliki berbagai alat potensial dan fitrah. Dari dua unsur tersebut, menurut Malik Fadjar , aspek ruhi atau fitrah merupakan bagian yang esensial dari manusia yang harus dan bisa ditumbuhkembangkan melalui proses pendidikan, utamanya pendidikan sepanjang hayat. Pada dimensi ruhiyah inilah pendidikan mencoba mendewasakan, menyadarkan dan meng-insan kamil-kan manusia.
Merujuk pada Kamus al-Munjid , fitrah dari segi bahasa berarti ciptaan, sifat tertentu di mana yang maujud disifati dengannya pada awal masa penciptaannya, sifat pembawaan manusia (yang ada sejak lahir), agama, as-Sunnah. Al-Asfahani menjelaskan makna kebahasaan dari kata “Fitrah” dengan mengungkapkan kata “Fathara Allah al-Khalq” yang berarti Allah mewujudkan sesuatu dan menciptakannya bentuk/keadaan kemampuan untuk melakukan perbuatan-perbuatan.
Dalam Q.S. al-Rum ayat 30, fitrah dimaksudkan sebagai suatu kekuatan/daya untuk mengenal/mengakui Allah atau beriman kepada-Nya yang menetap dalam diri manusia. Dengan kata lain, fitrah berarti sebuah kekuatan atau kemampuan (potensi) yang ada dalam diri manusia sejak awal proses penciptaannya untuk berkomitmen terhadap nilai-nilai keimanan kepada Allah SWT yang cenderung kepada kebenaran sebagai ciptaan Allah SWT.
Atas berbagai penjelasan kebahasaan itu, dapat ditarik sebuah kesimpulan mengenai makna fitrah sebagai sebuah kemampuan manusia yang dimiliki sejak lahir untuk melakukan suatu perbuatan. Dalam konteks ini Islam menempatkan manusia sebagai makhluk yang memiliki kemampuan individual yang asasi dan dibawa sejak lahir sekaligus bisa diaktualisasikan dan dikembangkan.
Untuk memahami manusia dalam pendidikan, menurut A. Waidl perlu digunakan beberapa prinsip mendasar, yakni: Pertama, manusia memiliki sejarah sehingga mampu melakukan elf reflection, mampu keluar dari dirinya dan menengok ke belakang masa hidupnya kemudian mengadakan penelitin dan permenungan untuk mengoreksi masa lalu demi kombinas-kombinasi baru di masa mendatang. Kedua, manusia adalah makhluk dengan gala individualitasnya yang memiliki ciri khas berdasarkan potensi yang dimilikinya baik lahir maupun batin. Ketiga, manusia selalu membutuhkan sosialisasi di antara mereka. Keempat, msnuaia mengadakn hubungan juga dengan alam sekitarnya. Kelima, manusia dalam kebebasannya mengolah alam pikir dan rasa telah menemukan Yang Transendental yang terlembagakan melalui iman.
Dengan beberapa prinsip mendasar untuk mengetahui manusia tersebut, dapat dipahami bahwa manusia memiliki dimensi yang kompleks bahkan menurut Waidl sangat misterius sekaligus terus mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Sehingga dengan demikian, pendiidkan mestinya bersikap dinamis siring dengan dinamika kehidupan manusia yang terus berubah setiap waktu. Jika tidak, maka pendidikan akan menjadi sebuah lembaga yang statis dan tidak bisa mengikuti perubahan, apalagi turut memberdayakan manusia.
Mengenai fitrah manusia, Muhaimin menyebut 14 macam kemampuan dasar yang dimiliki manusia, yakni: Pertama, fitrah beragama sebagai kemampuan sentral manusia yang mengarahkan dan mengontrol fitrah-fitrah lainnya, yakni kemampuan yang mendorong manusia untuk selalu pasrah, tunduk dan patuh kepada Tuhan yang menguasai dan mengatur segala aspek kehidupan manusia. Kedua, fitrah berakal budi yang mendorong manusia untuk berpikir dan berzikir dalam memahami tanda-tanda kekuasan Allah SWT di alam semesta, untuk berkreasi dan berbudaya, serta memahami berbagai persoalan hidup yang dihadapinya sekaligus memecahkannya. Ketiga, fitrah kebersihan dan kesucian yang mendorong manusia untuk selalu komitmen terhadap kebersihan dan kesucian diri dan lingkungannya. Keempat, fitrah bermoral/berakhlak yang mendorong menusia untuk komitmen terhadap norma-norma dan aturan yang berlaku. Kelima, fitrah kebenaran yang selalu mendorong manusia untuk mencari dan mencapai kebenaran. Keenam, fitrah kemerdekaan yang mendorong manusia untuk bersikap bebas, tidak mau terbelenggu dan diperbudak oleh sesuatu yang lain kecuali oleh keinginannya sendiri dan kecintaannya kepada kebaikan. Ketujuh, fitrah keadilan yang mendorong manusia untuk berusaha menegakkan keadilan di muka bumi. Kedelpan, fitrah persamaan dan persatuan yang mendorong manusia untuk mewujudkan persamaan hak serta menentang diskriminasi ras, etnik, bahasa dan sebagainya serta berusaha menjalin persatuan dan kesatuan di muka bumi. Kesembilan, fitrah individu yang mendorong manusia untuk bersikap mandiri, bertanggung jawab atas segala tindakan yang dilakukan, mempertahankan harga diri dan kehormatannya serta menjaga keselamatan diri dan hartanya. Kesepuluh, fitrah sosial yang mendorong manusia untuk hidup bersama, bekerja sama, bergotong royong, saling membantu dan sejenisnya. Kesebelas, fitrah seksual yang mendorong manusia untuk mengembangkan keturunan, melanjutkan keturunan dan mewariskan tugas-tugas kepada genarasi penerusnya. Kedua belas, fitrah ekonomi yang mendorong manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya melalui aktivitas ekonomi. Ketiga belas, fitrah politik yang mendorong manusia untuk berusaha menyusun sebuah kekuasan dan institusi yang mampu melindungi kepentingan bersama dan Keempat belas, fitrah seni yang mendorong manusia untuk menghargai dan mengembangkan kebutuhan seni dalam kehidupannya.
Fitrah manusia tersebut, menurut Muhaimin , harus diaktualkan dan atau ditumbuhkembangkan dalam kehidupan nyata di dunia ini melalui proses pendidikan. Dengan demikian, proses pendidikan Islam pada dasarnya merupakan upaya untuk menumbuhkembangkan segenap potensi yang ada dalam diri manusia agar ia mampu mengaktualkan dan menumbuhkembangkan potensi yang dimilikinya untuk menjalani kehidupan di dunia dan pada akhirnya harus dipertanggungjawabkan kepada Allah SWT di akhirat nanti. Upaya pengembangan fitrah manusia melalui pendidikan itu terkait dengan tugas yang diberikan oleh Allah SWT kepada manusia di dunia, yang meliputi tugas sebagai hamba Allah (Abdullah) dan khalifatullah di muka bumi .
Sebagai Abdullah, menurut Muhaimin manusia diharuskan memelihara tugas berupa kewajiban dari Allah SWT, bertauhid dan ma’rifah kepada-Nya. Malik Fadjar mendefinisikan tugas kehambaan manusia dengan rangkaian perbuatan melaksanakan perintah Tuhan dalam bentuk berbuat sesuatu yang terpuji. Sedangkan sebagai khalifah, manusia diharuskan mengerahkan potensi yang dimilikinya untuk mengelola, memelihara dan mengembangkan dunia. Seperti halnya mewujudkan kemakmuran di bumi, mewujudkan keselamatan dan kebahagiaan di bumi, beriman dan beramal shaleh, bekerjasama menegakkan kebenaran dan kesabaran dan berbagai tugas sejenis lainnya.
Dengan demikian, pendidikan –terutama pendidikan Islam—mesti ditujukan pada bagaimana agar peserta didik diarahkan untuk mampu mengembangkan seluruh potensi yang dimilikinya untuk mewujudkan peran-peran sebagai Abdullah dan khalifatullah. Antara lain bagaimana pendidikan bisa membentuk siswa menjadi hamba yang bersedia melaksanakan tugas kehambaannya kepada Allah dalam bentuk ibadah personal dan sosial serta tugas mengelola, mengembangkan dan memakmurkan bumi ini sebagai khalifah.
Dalam konteks demokrasi pendidikan Islam, maka upaya mempertimbangkan dan memberdayakan potensi manusia sebagai peserta didik juga merupakan sesuatu yang penting. Aspek pelibatan siswa dengan beragam potensi, latar belakang dan kesadaran psikologisnya dalam berbagai keputusan pendidikan, kegiatan belajar mengajar dan sebagainya, mendapatkan penghormatan, penghargaan dan sebagainya mutlak diperlukan.
Dalam konteks ini, maka penyelenggaraan pendidikan mutlak harus mengacu pada aspek-aspek yang bisa mendukung kultur tersebut. Dengan demikian, penulis sependapat dengan pandangan Abdurrahman Mas’ud bahwa pendidikan mesti mengacu pada semangat pembebasan dan pemberdayaan siswa. Pada tahap pertama siswa dibebaskan mengembangkan semua potensi yang dimilikinya dan selanjutnya diarahkan dan diberdayakan agar mampu mengembangkan dan mengoptimalkan seluruh potensi tersebut secara lebih terarah.
Muhaimin menyebut kehidupan akhirat sebagai sebuah dimensi akhir dari kehidupan manusia untuk mempertanggungjawabkan aktualisasi diri dan pengembangan potensi tersebut kepada Allah SWT. Di sini tersirat dimensi religius dalam pengembangan fitrah manusia tersebut di dunia pendidikan, karena sebagai proses aktualisasi dan pengembangan potensi manusia, pendidikan disyaratkan untuk mengarahkan peserta didik agar menyadari keharusan pertanggungjawaban perbuatan dan aktualisasi diri di dunia kepada Allah SWT di akhirat nanti. Ini pula yang tampaknya menjadi pembeda antara praktik pendidikan umum dan pendidikan Islam, di mana pendidikan di madrasah dan PTAI memiliki unikum karena mengajarkan aspek-aspek religius khususnya yang berkaitan dengan ajaran Islam yang bersandar pada al-Qur’an an Hadits.
Ini sejalan dengan filosofi pendidikan sebagai upaya untuk memberikan peluang bagi manusia untuk menjadi lebih human atau tinggi harkatnya . Muhaimin juga menyebut pendidikan sebagai usaha memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan alat-alat potensialnya seoptimal mungkin agar dapat difungsikan sebagai sarana bagi pemecahan masalah-masalah hidup dan kehidupan, pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) serta budaya manusia sekaligus sikap iman dan taqwa (imtaq) kepada Allah SWT.
E. Civil Society
Sebagai sebuah proses pemberdayaan, pemanusiaan manusia dan upaya mewujudkan manusia yang utuh, proses pendidikan tentunya sangat terkait dengan bagaimana mengupayakan perwujudan masyarakat madani. Artinya, upaya pendidikan mesti diarahkan agar penyelenggaraan pendidikan diarahkan pada pembentukan komunitas sekolah yang madani untuk kemudian dijalarkan pada pembentukan masyarakat luas yang madani pula.
Upaya membentuk masyarakat madani, menurut Nurcholis Madjid , mesti diarahkan pada cita-cita dan konsep masyarakat Madinah di bawah kepemimpinan Rasulullah SAW, yakni masyarakat yang: Pertama, masyarakat rabbaniyah yang memiliki semangat ketuhanan yang dihiasi tiga pilar penting yaitu aqidah, syariah dan akhlak. Kedua, masyarakat demokratis yang terbiasa bertradisi musyawarah. Ketiga, masyarakat yang toleran di tengah keperbedaan dan pluralitas. Keempat, masyarakat yang berkeadilan. Kelima, masyarakat berilmu.
Dalam konteks pendidikan Islam, maka upaya mewujudkan masyarakat madani mesti diarahkan pada praktik-praktik yang mengarah pada kultur rabbaniyah atas dasar standar aqidah, syariah dan akhlak yang ideal islami, kultur demokrasi melalui tradisi musyawarah dan melibatkan semua warga belajar dan pengelola kependidikan serta masyarakat, prinsip toleransi menyikapi keragaman, berkeadilan dan menjunjung tinggi ilmu pengetahuan. Prinsip-prinsip ini pula yang mesti diterapkan oleh lembaga pendidikan dalam proses interaksinya dengan masyarakat untuk turut berperan mewujudkan masyarakat madani dalam konteks lokal, nasional maupun nasional dan internasional
E. Refleksi Globalisasi
Apa yang ditimbulkan oleh globalisasi --baik manfaat maupun mudlaratnya—jelas memberikan tantangan tersendiri bagi lembaga pendidikan, termasuk pendidikan Islam. Di era yang serba terbuka itu, selain meniscayakan persaingan yang demikian ketat, juga bakal memunculkan akulturasi budaya yang demikian mudah dan cepat. Globalisasi memang demikian unik. Karena menurut VS Naipul (1996) ia akan memunculkan fenomena universal civilitation. Sementara dalam kesempatan yang sama menurut Yasraf Amir Piliang (1998) justru akan membangkitkan kesadaran lokal.
Berkaitan dengan tantangan globalisasi tersebut, lembaga pendidikan sebagai pencetak SDM unggul setidaknya harus memenuhi tipologi sekolah abad ke-21. Tipologi tersebut, menurut Lyn Haas (1994) menuntut setiap lembaga pendidikan untuk mampu memenuhi beberapa kualifikasi ideal, yakni:
Pertama, mewujudkan pendidikan untuk semua yakni memperlakukan siswa secara sama, memberikan pelajaran untuk memperoleh kompetensi keilmuan sesuai batas-batas kurikuler, memiliki basis skill dan keterampilan sesuai dengan minat merek dan kebutuhan pasar tenaga kerja.Ini pun harus diberengi dengan upaya integrasi pendidikan akademik sebagai persiapan memasuki perguruan tinggi dan pendidikan keterampilab untuk memasuki pasar tenaga kerja sesuai tuntutan perubahan masyarakat terhadap pendidikan untuk memberikan kontribusi terhadap kemajuan. Kedua, memberikan skill dan keterampilan yang sesuai dengan tuntutan pasar yang menghendaki setiap tenaga kerja memiliki keterampilan penggunaan alat-alat teknologi termodern, kemampuan komunikasi global, matematika serta kemampuan mengakses pengetahuan. Ketiga, penekanan pada kerjasama yakni menekankan pada pengalaman para siswa dalam melakukan kerjasama dengan yang lain melalui penugasan-penugasan kelompok dalam proses pembelajaran sehingga mereka memiliki pengalaman mengembangkan kerjasama. Karena trend pasar ke depan adalah pengembangan kerjasama, baik antara perusahaan atau antara perusahaan dengan masyarakat dan yang lainnya, sehingga pengalaman mereka belajar akan sangat bermanfaat dalam artikulasi diri di lapangan profesi mereka. Keempat, pengembangan kecerdasan ganda yakni bahwa para siswa harus diberi kesempatan untuk mengembangkan multiple intelligence mereka dengan memberi peluang untuk mengembangkan skill dan keterampilan yang beragam sehingga mudah melakukan penyesuaian di pasar tenaga kerja. Kelima, integrasi program pendidikan dengan kegiatan pengabdian kepada masyarakat agar mereka memiliki kepekaan sosial.
Dari beberapa gambaran mengenai globalisasi di atas, penulis setidaknya menemukan dua persoalan penting berkaitan era ini. Pertama, terjadinya benturan budaya yang akibatnya sangat fatal bagi kehidupan manusia. Marginalisasi bahkan pembunuhan budaya-budaya kecil oleh budaya-budaya besar dunia yang terjadi seiring dengan proses akulturasi dan penetrasi budaya yang dipermudah oleh sarana teknologi infomasi jelas akan mengakibatkan pergeseran bahkan krisis nilaidalam kehidupan manusia. Kedua, terjadinya penjajahan oleh Negara-negara besar terhadap Negara-negara kecil, khususnya di bidang politik dan ekonomi. Ini terjadi seiring dengan dominasi negara-negara besar di bidang industri dan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek). Dengan demikian, Negara-negara yang memiliki kapital lebih besar dan SDM yang handal akan terus menjadi penguasa ekonomi dan politik dunia, termasuk mendominasi persaingan antar manusia dan bangsa-bangsa di dunia.
Karenanya, praktik pendidikan Islam dan para pengelolanya mesti berupaya keras melakukan berbagai langkah agar tidak tertinggal dan mampu merespons tantangan global dengan turut memainkan peran di era ini.
Pertama, bagaimana pendidikan Islam mampu meningkatkan mutu pendidikannya, baik mutu belajar maupun mutu lulusannya baik di bidang akademik maupun tuntutan pasar kerja dengan mengaitkannya pada tuntutan dan tantangan global. Ini penting dilakukan agar proses pendidikan Islam bisa berkualitas sehingga bisa melahirkan lulusan yang berkualitas pula. Menyeimbangkan mutu pendidikan agama dan umum di lembaga pendidikan Islam, jelas menjadi sebuah kebutuhan mendasar bagi pendidikan Islam agar mampu membekali para siswanya dengan kemampuan ilmu agama dan ilmu umum yang berbasis Imtaq dan Iptek secara seimbang. Kenyataan mutu pendidikan Islam seperti di madrasah yang lebih rendah dibanding dengan sekolah-sekolah umum yang berada di bawah naungan Depdiknas menyiratkan betapa usaha untuk mewujudkan kualitas proses belajar dan mutu lulusan yang sesuai harapan demikian berat. Kedua, bagaimana madrasah secara eksternal mampu merepons berbagai tantangan global yang meniscayakan perubahan yang demikian cepat. Era persaingan global yang demikian kompetitif dan membutuhkan Sumber Daya Manusia (SDM) unggul yang bisa bersaing di era global merupakan sebuah tantangan dan kenyataan yang tidak bisa dielakkan. Termasuk tantangan kebudayaan serta pergeseran dan krisis nilai yang mesti dihadapi seiring dengan marginalisasi dan pembunuhan budaya-budaya kecil oleh budaya-budaya besar dan berpengaruh di dunia.
Karena itulah, dalam menghadapi berbagai perubahan dan tantangan global, para pengelola pendidikan Islam harus terbuka terhadap perubahan, inovasi dan pembaruan di lembaga pendidikan tersebut. Karena perubahan begitu cepat terjadi dan lembaga pendidikan seperti halnya madrasah dituntut untuk responsive dan dinamis terhadap berbagai perubahan, bukan malah statis dan anti perubahan.
Kemampuan lembaga pendidikan Islam melakukan adaptasi dan asimilasi budaya serta responsif terhadap perubahan dan tradisi lokal Indonesia sejak lama sehingga mendapat kepercayaan masyarakat hingga kini, jelas harus kembali diwujudkan di era persaingan global saat ini. Artinya, bagaimana ketangguhan lembaga pendidikan Islam dalam memainkan peran budaya dan responsif terhadap perubahan yang terjadi sepanjang perjalanan sejarahnya kini kembali diuji. Hanya saja, tantangan yang terjadi pada masa lalu berbeda dengan era kontemporer. Jika dahulu kala struktur masyarakat relatif sederhana dan tantangan perubahan zaman juga relatif tidak berat, maka era global menyajikan perubahan struktur masyarakat yang gradual dan tantangan yang maha berat. Tapi inilah realitas yang harus dihadapi, bukan dihindari. Karenanya madrasah harus bekerja ekstra keras untuk menghadapi tantangan tersebut jika tidak ingin tergusur oleh persaingan dan tak lagi mendapat simpati dan kepercayaan masyarakat untuk menyekolahkan putra dan putrinya atau tergusur dalam peran pemberdayaan masyarakat, transformasi sosial dan penjaga budaya dan nilai di era global.
F. Pendidikan Multikultural
Struktur masyarakat dunia –termasuk Indonesia kini semakin beragam –multi bangsa dan polyetnis. Will Kymlicka berdasar hasil penelitiannya mengungkapkan bahwa dari struktur 184 negara merdeka di dunia terdiri setidaknya dari 5.000 etnis dan 600 bahasa. Indonesia juga termasuk negara yang polyetnis, terdiri dari beragam suku di puluhan provinsi dan pulau- pulau yang membentanginya. Hal ini menunjukkan bahwa pluralitas menjadi sebuah realiatas yang tak bisa ditawar-tawar.
Dalam konteks Cirebon, pluralitas suku, bangsa dan etnis dan sejenisnya juga menjadi kenyataan yang menyejarah sejak dulu hingga kini. Posisinya yang berada di jalur perdagangan sutera (silk road), menurut Edi Sedyawati menghadirkan persilangan budaya antar bangsa di daerah ini.
Kenyataan mengenai beragamnya latar belakang budaya dan bangsa yang menghuni Cirebon sejak dulu hingga kini, menurut kajian T.D. Sudjana , terepresentasi dalam sebuah kereta buatan Pangeran Losari yang bernama Paksi Naga Lima yang hingga kini masih bisa dilihat di Kareton Kasepuhan. Paksi menggambarkan kebudayaan India (Hindu-Budha), Naga merepresentasikan kebudayaan Cina dan Liman sebagai lambang kebudayaan Islam.
Realitas yang menyejarah mengenai pluralitas bangsa, suku dan etnis di Cirebon ini sampai kini masih berwujud. Hal itu terlihat dari struktur masyarakat Cirebon yang terdiri dari beragam budaya, latar belakang bangsa, agama dan suku. Seperti terlihat pada masih hadirnya masyarakat kampung Arab, Cina, India, dan lainnya. Apalagi posisi Cirebon yang terhimpit oleh kebudayaan besar Jawa dan Sunda yang menjadikannya sebagai masyarakat yang memiliki identitas sendiri yang disebut T.D. Sudjana sebagai masyarakat yang terbuka dan tetap berpegang teguh pada tradisi budaya khasnya yang tosblong (apa adanya) yang dibentuk semasa kepemimpinan Sunan Gunung Djati, Mbah Kuwu Sangkan dan Pangeran Girilaya.
Kenyataan-kenyataan tersebut tentu harus direspon oleh lembaga pendidikan sebagai agen budaya, pemberdaya siswa dan agen perubahan sosial, termasuk pendidikan Islam. Karenanya, menurut Haidar Putra Daulay pendidikan islam mesti mampu mengakomodir semangat berdampingan secara damai dan aman penuh toleransi, saling menghargai dan memahami di tengah keperbedaan suku, bangsa, bahasa, budaya dan agama. Praktik penyelenggaraan pendidikan dalam konteks ini, menurutnya, mesti menjadi perekat pluralitas tersebut.
G. Kesimpulan
Pertama, demokrasi menjadi kata penting dalam upaya peningkatan mutu pendidikan, termasuk pendidikan Islam. Kedua, prinsip demokrasi sesungguhnya sesuai dengan semangat ajaran dan praktik umat Islam sejak zaman Nabi Muhammad SAW hingga tradisi Sunni sehingga bisa diterapkan dalam praktik penyelenggaraan pendidikan Islam. Ketiga, demokrasi pendidikan Islam mesti diterapkan pada perencanaan, penyelenggaraan KBM dan evaluasi. Keempat, demokrasi pendidikan mencakup prinsip pemanusiaan manusia, civil society dan pendidikan multikultural.
A. Ngawiti
Demokrasi tampaknya telah menjadi istilah penting sekaligus menjadi tuntutan sosio-politik warga bangsa di dunia. Tak heran jika terma ini menjadi issue paling populer sejak beberapa waktu terakhir. Jauh sebelum dibukanya kran global di bidang ekonomi yang kemudian berdampak pada semangat keterbukaan berbagai bidang lain, istilah dan praktik demokrasi sebenarnya sudah populer dan sejak beberapa waktu terakhir makin mengemuka. Praktik demokrasi pada dasarnya bertumpu pada pelibatan publik untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan-keputusan politik, baik di internal sebuah bangsa maupun kawasan internasional, termasuk di tingkat nasional maupun regional dan lokal
Meski pada awalnya digunakan dan akrab dengan terma politik, namun seiring dinamika publik dan terbukanya era postmodernisme, istilah tersebut kemudian mengilhami pula berbagai bidang lain, seperti bidang sosial, ekonomi, budaya dan agama, termasuk pendidikan. Dalam konteks pendidikan, penerapan prinsip-prinsip demokrasi telah menjadi tuntutan sejalan dengan tumbuhnya kesadaran para pengelola lembaga pendidikan di negara-negara maju dan negara sedang berkembang untuk mengimplementasikan prinsip-prinsip keterbukaan, orientasi pelayanan serta dinamisasi dan adaptasi penyelenggaraan pendidikan dalam merespon berbagai perubahan yang mengitarinya.
Di Indonesia, tuntutan untuk menerapkan prinsip-prinsip demokrasi dalam praktik penyelenggaraan pendidikan muncul seiring dengan arus reformasi tahun 1998 yang ditandai dengan tumbangnya H.M. Soeharto dari singgasana kepemimpinan nasional yang didudukinya selama lebih dari 32. Peristiwa ini ternyata membawa angin segar bagi perubahan berbagai tatanan kehidupan di negeri Jamrud Khatulistiwa ini, termasuk pada bidang pendidikan. Jika awalnya ditujukan untuk melakukan perbaikan tatanan di bidang politik dalam bentuk suksesi kepemimpinan nasional, pengaruh reformasi pun kemudian menjalar ke bidang pendidikan. Pemerintah pun sejak tahun 1999 mengeluarkan berbagai kebijakan yang reformatif untuk melakukan perubahan di sektor ini.
UU Nomor 22/1999 dan UU 20/2003 menjadi dua energi positif bagi perubahan arah kebijakan pendidikan yang bertumpu pada paradigma otonomisasi dan demokratisasi. Ini sejalan dengan refleksi pemikiran dan kebijakan untuk melakukan peningkatan mutu proses dan hasil belajar sekaligus memperbesar kemampuan pendidikan untuk responsif dan adaptif terhadap perubahan. Pendidikan di Indonesia, menurut Dede Rosyada , pada akhir abad ke20 dan awal abad ke-21 tengah menghadapi dua masalah besar sekaligus, baik internal maupun eksternal. Pada sisi internal, masalah rendahnya mutu masih menghinggapi dunia pendidikan sehingga pemerintah kemudian melakukan peningkatan mutu pendidikan melalui berbagai penataan dan restrukturisasi strategi pengembangan yang jauh lebih tepat, akurat dan akseleratif. Sementara era global yang menjadi tantangan bagi dunia pendidikan merupakan persoalan eksternal yang dihadapi bidang ini.
Pada era orde baru, kebijakan pendidikan dilakukan secara sentralistik dan semua kewenangannya berada di tangan pemerintah pusat seperti diatur UU Nomor 2/1989. Semuanya serba bernuansa pusat, kurikulum diatur pemerintah pusat, dana diatur ”penguasa” di tingkat pusat, demikian juga model belajar, rekrutmen pegawai, pengadaan sarana pendidikan dan sebagainya dikelola para dedengkot republik di ibu kota negara di Jakarta. Bahkan, evaluasi belajar pun diatur pemerintah pusat, seperti tercermin pada model Ebtanas, bahkan itu juga masih berpengaruh pada era reformasi melalui penyelenggaraan Ujian Akhir Nasional (UAN) dan Ujian Nasional (UN)
Semangat reformasi kemudian membawa perubahan yang radikal bahkan revolusioner di dunia pendidikan. Paradigma ”serba pusat” dan pengelolaan pendidikan yang tersentral itu kemudian diubah. Desentralisasi kewenangan –bukan pemindahan kekuasaan—dari pemerintah pusat seiring dengan semangat otonomi daerah (otda) juga mengakomodir riak-riak di daerah yang menghendaki agar bidang ini diotonomikan.
UU 22/1999 menempatkan pendidikan sebagai salah satu sektor yang diotonomisasikan bersama-sama dengan bidang-bidang pembangunan berbasis kedaerahan lainnya seperti pertanian, kehutanan, pariwisata, koperasi dan sektor lainnya kepada pemerintah di daerah. Otonomi pendidikan pun kemudian didorong pada tingkat sekolah dengan harapan agar kepala sekolah, guru dan komponen kependidikan lain di sekolah diberi kewenangan penuh sekaligus bertanggung jawab meningkatkan kualitas proses dan hasil belajarnya, sementara pemerintah daerah hanya bertindak selaku fasilitator bagi pemenuhan berbagai kebutuhan pendidikan seperti sarana dan prasarana, ketengaan serta kebutuhan berbagai program lain yang direncanakan sekolah.
Sementara itu, terbitnya UU 20/2003 memunculkan semangat baru dalam mewujudkan demokratisasi di sektor ini melalui upaya memperbesar partisipasi masyarakat dan pelibatan siswa dalam proses pembelajaran. Masyarakat tidak hanya dituntut memberikan retribusi uang sumbangan pendidikan kepada sekolah, tapi juga diberi ruang untuk terlibat aktif dalam pembahasan dan kajian dalam mengidentifikasi berbagai permintaan stakeholders dan user sekolah mengenai kompetensi siswa yang akan dihasilkannya. Pemberian peluang ini ditujukan agar masyarakat turut memperkaya substansi kurikulum serta menuntut kreativitas dan dinamika pengelolaan sekolah agar dapat melayani permintaan-permintaan tersebut dengan tetap berpijak pada perkembangan psikologis dan kemampuan siswa serta kesanggupan sekolah dalam memberikan pelayanan kepada ”klien”-nya. Sedangkan siswa diarahkan untuk aktif dalam proses pembelajaran dan diberi kesempatan untuk menentukan aktivitas belajar yang mereka lakukan bersama-sama dengan guru mereka. Hal ini diharapkan akan membuat suasana belajar menjadi menyenangkan, dinamis dan penuh keceriaan karena aspiratif dan sesuai permintaan siswa .
Masalah demokratisasi dan otonomisasi pendidikan itu mendapat perhatian demikian besar dari pemerintah, pengelola sekolah dan berbagai pihak lain yang terkait dengan penyelenggaraan pendidikan persekolahan. Semangat reformasi dalam pendidikan di tanah air itu kemudian diarahkan pada tuntutan baru agar pendidikan bisa diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan. Ini terkait dengan bagaimana pihak sekolah mampu bermitra secara positif dengan masyarakat selaku stakeholders dan user pendidikan, termasuk memaksimalkan potensi dan partisipasi siswa dalam proses belajar yang diselenggarakannya.
Pendidikan Islam --khususnya yang formal seperti terimplementasi pada penyelenggaraan pendidikan di Madrasah Ibtidaiyyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs)), Madrasah Aliyah (MA) maupun Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) mau tidak mau harus menjadikan dua semangat tersebut sebagai inspirasi dalam penyelenggaraan pendidikannya. Karena madrasah dan PTAI merupakan jalur pendidikan formal yang menjadi bagian Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Ini pula yang menurut Malik Fadjar merupakan keunggulan Sisdiknas yang demikian akomodatif dalam mengintegrasikan pranata-pranata pendidikan yang beragam ke dalam bangunan sistemik pendidikan nasional.
Pada dasarnya, menurut Haidar Putra Daulay , pendidikan Islam bertujuan membentuk pribadi muslim seutuhnya, mengembangkan seluruh potensi manusia baik yang berbentuk jasmaniah maupun ruhaniyah, menumbuhsuburkan hubungan harmonis setiap pribadi dengan Allah, manusia dan alam semesta. Pengertian ini menunjukkan pada sebuah kesimpulan bahwa pendidikan Islam pada dasarnya berupaya untuk mengembangkan individu sepenuhnya beserta semua potensi yang dimilikinya.
Melalui makalah yang menggunakan model penelitian analisis deskriptif ini, penulis tidak hanya ingin mengurai demokrasi dalam perspektif dan pemaknaan penganut mazhab pemikiran modern, akan tetapi juga bermaksud melacaknya dari semangat ajaran dasar Islam sekaligus semangat dan praktik keagamaan umatnya sehingga bisa dipertautkan dengan upaya mengadaptasikan semangat tersebut dalam praktik pendidikan Islam kontemporer. Pembahasan mengenai demokrasi dan manusia dalam Islam, demokratisasi pendidikan, civil society dan pendidikan multikultural juga merupakan sub-sub tema yang akan dibahas dalam makalah ini.
B. Mengurai Makna Melacak Jejak
Demokrasi memang cukup populer sebagai terma yang sangat dekat dengan dunia barat, karena istilah ini pada zaman modern dipopulerkan bahkan dijadikan issue utama oleh para ilmuwan dan politisi di negara-negara barat. Kita mengenal umpamanya jargon demokrasi Abraham Lincoln yang demikian populer. Presiden Amerika Serikat itu memberikan batasan demokrasi dengan ungkapan Government from the people, with the people and for the poeple. Nathan Tarcov memberikan batasan makna demokrasi sebagai kekuasaan di tangan rakyat. Istilah ini jika dilacak lebih jauh ternyata berasal dari dua kata berbahasa Yunani, Demos yang berarti rakyat dan kratos yang berarti kekuasaan. Inti dari pengertian ini, menurut Tarcov, bermuara pada pelibatan rakyat terhadap berbagai kebijakan pemerintah dan keputusan publik dalam kekuasaan negara.
Meski istilah ini dipopulerkan para ilmuwan dan politisi di negara-negara barat, namun bukan berarti prinsip-prinsip demokrasi tidak bisa dilacak dari nilai-nilai ajaran Islam. Karena semangat dan praktik berdemokrasi pada dasarnya bisa ditemukan pada prinsip-prinsip ajaran Islam, baik dari al-Qur’an maupun hadits serta praktik kehidupan di zaman Nabi Muhammad SAW, Khulafaur Rasyidin, dan tradisi Sunni.
Merujuk pada sejumlah ayat al-Qur’an, nilai-nilai demokrasi itu tercermin pada sejumlah ajaran dasar Islam mengenai hal ini, antara lain melalui: Pertama, pluralisme beragama dalam surat al-Kafirun ayat 6: ”Bagiku agamaku dan bagimu agamamu”. Ayat tersebut membuktikan bahwa Islam memberikan kebebasan beragama dan mengakomodasi kelompok agama dan budaya-budaya lain. Kedua, prinsip kebebasan beragama yang tercermin dalam Surat al-Baqarah ayat 256: "Tidak ada paksaan dalam memeluk (agama) Islam..." Ketiga, Surat asy-Syura ayat 36: “Dan orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka diputuskan dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka.”
Musyawarah menurut beberapa literatur penting cukup menonjol dikaitkan dengan pembahasan mengenai prinsip-prinsip Islam mengenai demokrasi. Kata ini merupakan bentuk masdar dari kata “syawara” yang secara etimologis memiliki beragam arti, antara lain memeras madu dari sarang lebah, memelihara tubuh binatang ternak saat membelinya, menampilkan diri dalam perang serta meminta pendapat dan mencari kebenaran . Arti yang disebutkan terakhir merupakan makna yang sering digunakan dalam mengartikan kata “Syawara”. Sementara secara terminologis, Arif Khalil mendefinisikan makna syura dengan batasan “memunculkan pendapat-pendapat dari orang-orang yang berkompeten untuk sampai pada kesimpulan yang paling tepat.” Praktik musyawarah dalam prinsip ajaran dan praktik sosial-keagamaan umat Islam yang ditujukan untuk mencapai kemufakatan.
Dengan merujuk pada Surat Asy-Syura ayat 36, jelaslah bahwa Islam telah memosisikan musyawarah sebagai pilar demokrasi pada tempat yang istimewa. Pemosisian musyawarah pada kedudukan yang istimewa itu terepresentasi dari penyebutan syura dalam Q.S. asy-Syura ayat 36 secara berdampingan dengan shalat sebagai satu ibadah fardhu ‘ain.
Prinsip musyawarah yang bertumpu pada pelibatan banyak orang untuk menentukan sebuah keputusan atau mencari kebenaran tersebut memiliki korelasi positif dengan prinsip-prinsip demokrasi modern. Karena dalam tradisi dan prinsip modern, demokrasi bukan terletak pada penerapan sistem trias politika yang membagi pemerintahan menjadi tiga lembaga yakni eksekutif, yudikatif dan legislatif, melainkan justru terletak pada sistem checks and balances yang berlangsung dalam praktik pemerintahan sebagai kontrol rakyat terhadap para pemimpinnya . Model check and balance itu akan bisa berjalan secara efektif bila semua elemen yang terlibat dalam praktik pemerintahan itu mengedepankan semangat dan prinsip keterbukaan. Pemerintahan akan berjalan efektif, efisien dan egaliter terhadap upaya mengakomodasi berbagai kepentingan rakyat sebagai pemegang kekuasaan.
Amien Rais mengungkap lima prinsip dasar bagi praktik demokrasi dalam pemerintahan menurut Islam yakni: Pertama, pemerintahan harus dilandaskan pada keadilan. Kedua, sistem politik harus dilandaskan pada prinsip syura dan musyawarah. Ketiga, terdapat prinsip kesetaraan yang tidak membedakan orang atas dasar gender, etnik, warna kulit, atau latar belakang sejarah, sosial atau ekonomi dan lain-lain. Keempat, kebebasan berfikir, berpendapat, pers, beragama, kebebasan dari rasa takut, hak untuk hidup, mengadakan gerakan dan lain-lain. Dan kelima, pertanggungjawaban para pemimpin kepada rakyat atas kebijakan-kebijakan mereka.
Semangat keterbukaan merupakan nafas yang sejalan dengan prinsip musyawarah dalam Islam. Musyawarah ditempatkan sebagai cara pengambilan keputusan. Prinsip musyawarah ini menjadi rujukan dalam pengambilan keputusan-keputusan penting di dunia Islam, khususnya dalam bidang politik. Hal itu seperti terepresentasi pada model pemilihan khulafaur Rasyidin sepeninggal Rasululah SAW yang dilakukan melalui mekanisme penentuan dengan melibatkan banyak sahabat rasul sebagai pemilihnya. Prinsip ini pun antara lain bisa dilacak pada tradisi politik kelompok Sunni. Karena selain digunakan untuk menyebut aliran atau kelompok keagamaan dalam Islam yang menerima otoritas sunnah Nabi Muhammad SAW dan otoritas seluruh generasi pertama umat Islam serta validnya kesejarahan komunitas mayoritas muslim, istilah Sunni merujuk pada tesis Abdurrahman Mas’ud juga digunakan dalam konteks politik untuk menunjuk pada orang atau komunitas yang menggunakan kekuatan mayoritas (jamaah) guna menghindari perpecahan umat akibat sebuah persoalan, khususnya dalam bidang politik.
Pada era Nabi Muhammad SAW hidup, konsep demokrasi salah satunya bisa dirujuk pada Piagam Madinah yang dianggap banyak pihak sebagai konsep Islam praktis yang sangat mendukung penerapan demokrasi di tengah masyarakat. Piagam Madinah, menurut Sumanto al-Qurtubi memuat dua prinsip yakni Pertama, prinsip kesederajatan dan keadilan serta prinsip keterbukaan (inklusivisme).
Sementara William Montgomery Watt menyebut Piagam Madinah atau "Konstitusi Madinah" sebagai konstitusi modern pertama yang memperkenalkan wacana kebebasan beragama, persaudaraan antaragama, perdamaian dan kedamaian, persatuan, etika politik, hak dan kewajiban warga negara, serta konsistensi penegakan hukum berdasarkan kebenaran dan keadilan.
Berbagai penjelasan di atas menyiratkan bahwa prinsip-prinsip ajaran Islam sangat mendukung semangat demokrasi dalam praktik kehidupan umatnya dan manusia secara umum di dunia sebagai perwujudan Islam sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin. Hal ini juga menyiratkan bahwa praktik-praktik demokrasi dalam pendidikan Islam memiliki sandaran filosofis dan teologis yang sangat kuat. Prinsip-prinsip demokrasi itu antara lain terwujud dalam semangat keadilan, musyawarah atau pelibatan orang banyak dalam pengambilan keputusan, kesetaraan, kebebebasan dan pertanggungjawaban.
Dengan demikian, praktik demokrasi dalam pendidikan Islam sesungguhnya sesuai dengan prinsip-prinsip dasar agama Islam sekaligus memiliki pijakan historis dalam praktik keberagamaan dan kemasyarakatan di dunia Islam sejak zaman Nabi Muhammad SAW hingga kini. Sehingga, penerapan demokrasi dalam pendidikan Islam tidak perlu disikapi secara antagonistis akibat telah dipopulerkan oleh para intelektual dan dalam praktik politik di negara-negara barat. Karena pada dasarnya, secara asasi ajaran Islam memuat kandungan mengenai hal ini sekaligus mendukung prinsip-prinsip demokrasi dalam membentuk kehidupan umat yang madani.
Dalam konteks pendidikan –termasuk pendidikan Islam--, implementasi prinsip-prinsip demokrasi tersebut secara ideal mesti diwujudkan pada bagaimana proses pendidikan itu mengakomodir semangat demokrasi dalam penyelenggaraannya. Karena kajian ini merupakan bagian dari filsafat pendidikan Islam --khususnya wilayah epistemologi--, maka demokratisasi pendidikan Islam tak hanya mesti diarahkan dalam kaitan dengan penyelenggaraan pendidikan persekolahan dalam lingkup pemenuhan kebutuhan yang menyeluruh pada aspek pendanaan, pemenuhan kebutuhan, pengelolaan kegiatan kependidikan dan kegiatan lainnya, akan tetapi yang lebih utama adalah menjadikan semangat tersebut sebagai dasar pijakan filosofis sebagai landasan penyelenggaraan kegiatan akademik pada sub sistem pendidikan Islam di tanah air. Dalam konteks penyelenggaraan kegiatan akademik di sekolah, prinsip demokratisasi itu menyangkut masalah pendidikan sebagai upaya yang melibatkan dan memberdayakan manusia sebagai peserta didik, pelibatan masyarakat serta pelayanan pendidikan tanpa diskriminasi.
C. Demokratisasi Pendidikan
Meski dalam kegiatan politik mekanisme berdemokrasi berbeda dengan praktik di lembaga pendidikan, namun secara substantif prinsip-prinsip demokrasi tersebut bisa diterapkan dalam kegiatan pendidikan. Dede Rosyada mendefinisikan sekolah demokratis sebagai membawa semangat demokrasi tersebut dalam perencanaan, pengelolaan dan evaluasi penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Pengertian yang sama mengenai sekolah demokrasi juga dikemukakan James A. Beane dan Michael W. Apple . Menurutnya, sekolah demokratis adalah kegiatan mengimplementasikan pola-pola demokratis dalam pengelolaan sekolah yang secara umum mencakup dua aspek yakni struktur organisasi dan prosedur kerja dalam struktur tersebut serta merancang kurikulum yang bisa mengantarkan anak-anak didik memiliki berbagai pengalaman tentang praktik-praktik demokratis.
Berkaitan dengan perwujudan prinsip-prinsip demokratisasi dalam penyelenggaraan pendidikan atau upaya menciptakan sekolah demokratis, menurut Dede Rosyada, semua pihak terkait baik pemerintah, pengelola sekolah maupun masyarakat harus mewujudkan tiga aspek penting, yakni: Pertama, demokratisasi dalam penyusunan, pengembangan dan implementasi kurikulum di sekolah. Kedua, demokratisasi dalam proses pembelajaran sejak penyiapan program pembelajaran sampai implementasi proses pembelajaran dalam kelas dengan memberikan perhatian pada aspirasi siswa, tidak mengabaikan mereka yang lamban dalam proses pemahaman dan tidak merugikan mereka yang cepat dalam memahami bahan ajar dengan tujuan akhir mencapai batas minimal kompetensi sesuai angka yang ditetapkan bersama dalam koridor mastery learning. Ketiga, demokratisasi dalam pengelolaan sekolah yang memperbesar pelibatan teamwork dalam proses pengambilan keputusan, perencanaan program, pendistribusian tugas dan wewenang serta perubahan paradigma dalam menilai produktivitas kerja setiap unsur dalam organisasi sekolah dengan orientasi kepuasan pelanggan atau klien sekolah.
Dengan demikian, prinsip-prinsip demokrasi semestinya terimplementasikan dalam tiga aspek penting penyelenggaraan pendidikan, yakni demokratisasi dalam penyusunan kurikulum, demokratisasi dalam proses belajar dan demokratisasi pengelolaan sekolah yang bertumpu pada kerja kolektif dan pelibatan seluruh team work penyelenggara pendidikan. Ketiga aspek tersebut harus diarahkan untuk agar bisa berjalan secara integral dalam mendukung penerapan sekolah demokratis. Jika salah satu aspek tersebut tidak bisa dilaksanakan dengan mengacu pada prinsip-prinsi demokrasi, maka perwujudan sekolah demokratis sulit dilakukan, atau paling tidak bakal menemui hambatan berarti.
James A. Beane dan Michael W. Apple mensyaratkan sejumlah kondisi yang harus dikembangkan untuk membangun sekolah demokratis, yakni: Pertama, keterbukaan saluran ide dan gagasan sehingga semua orang bisa menerima informasi seoptimal mungkin. Kedua, memberikan kepercayaan kepada individu-individu dan kelompok sesuai kapasitas yang mereka miliki untuk menyelesaikan berbagai persoalan sekolah. Ketiga, menyampaikan kritik sebagai hasil analisis dalam proses penyampaian evaluasi terhadap ide-ide, problem-problem dan berbagai kebijakan yang dikeluarkan pihak sekolah.Keempat, memperlihatkan kepedulian terhadap kesejahteraan orang lain dan terhadap persoalan-persoalan publik. Kelima, ada kepedulian terhadap harga diri, hak-hak individu dan hak-hak minoritas. Keenam, pemahaman bahwa demokrasi yang dikembangkan belumlah mencerminkan demokrasi yang diidealkan sehingga demokrasi harus terus dikembangkan dan bisa membimbing keseluruhan hidup manusia dan ketujuh terdapat sebuah institusi yang dapat terus mempromosikan dan mengembangkan cara-cara hidup demokratis.
D. Pendidikan yang Memanusiakan
Saat membahas pendidikan, maka tentu saja sangat penting memasukkan tema mengenai manusia. Karena proses pendidikan pada dasarnya dilakukan sebagai upaya memanusiakan manusia. Upaya ini ditujukan untuk memberi kesempatan kepada peserta didik agar bisa mengaktualisasikan dan menumbuhkembangkan potensi-potensi dasar atau fitrahnya.
Berkaitan dengan manusia, ajaran Islam sesungguhnya telah menggariskan batasan yang jelas. Ini bisa dirujuk dari proses penciptaan manusia sebagai makhluk dengan dimensi jasadi yang merupakan bagian dari alam semesta ciptaan Allah SWT serta aspek ruhi yang memiliki berbagai alat potensial dan fitrah. Dari dua unsur tersebut, menurut Malik Fadjar , aspek ruhi atau fitrah merupakan bagian yang esensial dari manusia yang harus dan bisa ditumbuhkembangkan melalui proses pendidikan, utamanya pendidikan sepanjang hayat. Pada dimensi ruhiyah inilah pendidikan mencoba mendewasakan, menyadarkan dan meng-insan kamil-kan manusia.
Merujuk pada Kamus al-Munjid , fitrah dari segi bahasa berarti ciptaan, sifat tertentu di mana yang maujud disifati dengannya pada awal masa penciptaannya, sifat pembawaan manusia (yang ada sejak lahir), agama, as-Sunnah. Al-Asfahani menjelaskan makna kebahasaan dari kata “Fitrah” dengan mengungkapkan kata “Fathara Allah al-Khalq” yang berarti Allah mewujudkan sesuatu dan menciptakannya bentuk/keadaan kemampuan untuk melakukan perbuatan-perbuatan.
Dalam Q.S. al-Rum ayat 30, fitrah dimaksudkan sebagai suatu kekuatan/daya untuk mengenal/mengakui Allah atau beriman kepada-Nya yang menetap dalam diri manusia. Dengan kata lain, fitrah berarti sebuah kekuatan atau kemampuan (potensi) yang ada dalam diri manusia sejak awal proses penciptaannya untuk berkomitmen terhadap nilai-nilai keimanan kepada Allah SWT yang cenderung kepada kebenaran sebagai ciptaan Allah SWT.
Atas berbagai penjelasan kebahasaan itu, dapat ditarik sebuah kesimpulan mengenai makna fitrah sebagai sebuah kemampuan manusia yang dimiliki sejak lahir untuk melakukan suatu perbuatan. Dalam konteks ini Islam menempatkan manusia sebagai makhluk yang memiliki kemampuan individual yang asasi dan dibawa sejak lahir sekaligus bisa diaktualisasikan dan dikembangkan.
Untuk memahami manusia dalam pendidikan, menurut A. Waidl perlu digunakan beberapa prinsip mendasar, yakni: Pertama, manusia memiliki sejarah sehingga mampu melakukan elf reflection, mampu keluar dari dirinya dan menengok ke belakang masa hidupnya kemudian mengadakan penelitin dan permenungan untuk mengoreksi masa lalu demi kombinas-kombinasi baru di masa mendatang. Kedua, manusia adalah makhluk dengan gala individualitasnya yang memiliki ciri khas berdasarkan potensi yang dimilikinya baik lahir maupun batin. Ketiga, manusia selalu membutuhkan sosialisasi di antara mereka. Keempat, msnuaia mengadakn hubungan juga dengan alam sekitarnya. Kelima, manusia dalam kebebasannya mengolah alam pikir dan rasa telah menemukan Yang Transendental yang terlembagakan melalui iman.
Dengan beberapa prinsip mendasar untuk mengetahui manusia tersebut, dapat dipahami bahwa manusia memiliki dimensi yang kompleks bahkan menurut Waidl sangat misterius sekaligus terus mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Sehingga dengan demikian, pendiidkan mestinya bersikap dinamis siring dengan dinamika kehidupan manusia yang terus berubah setiap waktu. Jika tidak, maka pendidikan akan menjadi sebuah lembaga yang statis dan tidak bisa mengikuti perubahan, apalagi turut memberdayakan manusia.
Mengenai fitrah manusia, Muhaimin menyebut 14 macam kemampuan dasar yang dimiliki manusia, yakni: Pertama, fitrah beragama sebagai kemampuan sentral manusia yang mengarahkan dan mengontrol fitrah-fitrah lainnya, yakni kemampuan yang mendorong manusia untuk selalu pasrah, tunduk dan patuh kepada Tuhan yang menguasai dan mengatur segala aspek kehidupan manusia. Kedua, fitrah berakal budi yang mendorong manusia untuk berpikir dan berzikir dalam memahami tanda-tanda kekuasan Allah SWT di alam semesta, untuk berkreasi dan berbudaya, serta memahami berbagai persoalan hidup yang dihadapinya sekaligus memecahkannya. Ketiga, fitrah kebersihan dan kesucian yang mendorong manusia untuk selalu komitmen terhadap kebersihan dan kesucian diri dan lingkungannya. Keempat, fitrah bermoral/berakhlak yang mendorong menusia untuk komitmen terhadap norma-norma dan aturan yang berlaku. Kelima, fitrah kebenaran yang selalu mendorong manusia untuk mencari dan mencapai kebenaran. Keenam, fitrah kemerdekaan yang mendorong manusia untuk bersikap bebas, tidak mau terbelenggu dan diperbudak oleh sesuatu yang lain kecuali oleh keinginannya sendiri dan kecintaannya kepada kebaikan. Ketujuh, fitrah keadilan yang mendorong manusia untuk berusaha menegakkan keadilan di muka bumi. Kedelpan, fitrah persamaan dan persatuan yang mendorong manusia untuk mewujudkan persamaan hak serta menentang diskriminasi ras, etnik, bahasa dan sebagainya serta berusaha menjalin persatuan dan kesatuan di muka bumi. Kesembilan, fitrah individu yang mendorong manusia untuk bersikap mandiri, bertanggung jawab atas segala tindakan yang dilakukan, mempertahankan harga diri dan kehormatannya serta menjaga keselamatan diri dan hartanya. Kesepuluh, fitrah sosial yang mendorong manusia untuk hidup bersama, bekerja sama, bergotong royong, saling membantu dan sejenisnya. Kesebelas, fitrah seksual yang mendorong manusia untuk mengembangkan keturunan, melanjutkan keturunan dan mewariskan tugas-tugas kepada genarasi penerusnya. Kedua belas, fitrah ekonomi yang mendorong manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya melalui aktivitas ekonomi. Ketiga belas, fitrah politik yang mendorong manusia untuk berusaha menyusun sebuah kekuasan dan institusi yang mampu melindungi kepentingan bersama dan Keempat belas, fitrah seni yang mendorong manusia untuk menghargai dan mengembangkan kebutuhan seni dalam kehidupannya.
Fitrah manusia tersebut, menurut Muhaimin , harus diaktualkan dan atau ditumbuhkembangkan dalam kehidupan nyata di dunia ini melalui proses pendidikan. Dengan demikian, proses pendidikan Islam pada dasarnya merupakan upaya untuk menumbuhkembangkan segenap potensi yang ada dalam diri manusia agar ia mampu mengaktualkan dan menumbuhkembangkan potensi yang dimilikinya untuk menjalani kehidupan di dunia dan pada akhirnya harus dipertanggungjawabkan kepada Allah SWT di akhirat nanti. Upaya pengembangan fitrah manusia melalui pendidikan itu terkait dengan tugas yang diberikan oleh Allah SWT kepada manusia di dunia, yang meliputi tugas sebagai hamba Allah (Abdullah) dan khalifatullah di muka bumi .
Sebagai Abdullah, menurut Muhaimin manusia diharuskan memelihara tugas berupa kewajiban dari Allah SWT, bertauhid dan ma’rifah kepada-Nya. Malik Fadjar mendefinisikan tugas kehambaan manusia dengan rangkaian perbuatan melaksanakan perintah Tuhan dalam bentuk berbuat sesuatu yang terpuji. Sedangkan sebagai khalifah, manusia diharuskan mengerahkan potensi yang dimilikinya untuk mengelola, memelihara dan mengembangkan dunia. Seperti halnya mewujudkan kemakmuran di bumi, mewujudkan keselamatan dan kebahagiaan di bumi, beriman dan beramal shaleh, bekerjasama menegakkan kebenaran dan kesabaran dan berbagai tugas sejenis lainnya.
Dengan demikian, pendidikan –terutama pendidikan Islam—mesti ditujukan pada bagaimana agar peserta didik diarahkan untuk mampu mengembangkan seluruh potensi yang dimilikinya untuk mewujudkan peran-peran sebagai Abdullah dan khalifatullah. Antara lain bagaimana pendidikan bisa membentuk siswa menjadi hamba yang bersedia melaksanakan tugas kehambaannya kepada Allah dalam bentuk ibadah personal dan sosial serta tugas mengelola, mengembangkan dan memakmurkan bumi ini sebagai khalifah.
Dalam konteks demokrasi pendidikan Islam, maka upaya mempertimbangkan dan memberdayakan potensi manusia sebagai peserta didik juga merupakan sesuatu yang penting. Aspek pelibatan siswa dengan beragam potensi, latar belakang dan kesadaran psikologisnya dalam berbagai keputusan pendidikan, kegiatan belajar mengajar dan sebagainya, mendapatkan penghormatan, penghargaan dan sebagainya mutlak diperlukan.
Dalam konteks ini, maka penyelenggaraan pendidikan mutlak harus mengacu pada aspek-aspek yang bisa mendukung kultur tersebut. Dengan demikian, penulis sependapat dengan pandangan Abdurrahman Mas’ud bahwa pendidikan mesti mengacu pada semangat pembebasan dan pemberdayaan siswa. Pada tahap pertama siswa dibebaskan mengembangkan semua potensi yang dimilikinya dan selanjutnya diarahkan dan diberdayakan agar mampu mengembangkan dan mengoptimalkan seluruh potensi tersebut secara lebih terarah.
Muhaimin menyebut kehidupan akhirat sebagai sebuah dimensi akhir dari kehidupan manusia untuk mempertanggungjawabkan aktualisasi diri dan pengembangan potensi tersebut kepada Allah SWT. Di sini tersirat dimensi religius dalam pengembangan fitrah manusia tersebut di dunia pendidikan, karena sebagai proses aktualisasi dan pengembangan potensi manusia, pendidikan disyaratkan untuk mengarahkan peserta didik agar menyadari keharusan pertanggungjawaban perbuatan dan aktualisasi diri di dunia kepada Allah SWT di akhirat nanti. Ini pula yang tampaknya menjadi pembeda antara praktik pendidikan umum dan pendidikan Islam, di mana pendidikan di madrasah dan PTAI memiliki unikum karena mengajarkan aspek-aspek religius khususnya yang berkaitan dengan ajaran Islam yang bersandar pada al-Qur’an an Hadits.
Ini sejalan dengan filosofi pendidikan sebagai upaya untuk memberikan peluang bagi manusia untuk menjadi lebih human atau tinggi harkatnya . Muhaimin juga menyebut pendidikan sebagai usaha memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan alat-alat potensialnya seoptimal mungkin agar dapat difungsikan sebagai sarana bagi pemecahan masalah-masalah hidup dan kehidupan, pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) serta budaya manusia sekaligus sikap iman dan taqwa (imtaq) kepada Allah SWT.
E. Civil Society
Sebagai sebuah proses pemberdayaan, pemanusiaan manusia dan upaya mewujudkan manusia yang utuh, proses pendidikan tentunya sangat terkait dengan bagaimana mengupayakan perwujudan masyarakat madani. Artinya, upaya pendidikan mesti diarahkan agar penyelenggaraan pendidikan diarahkan pada pembentukan komunitas sekolah yang madani untuk kemudian dijalarkan pada pembentukan masyarakat luas yang madani pula.
Upaya membentuk masyarakat madani, menurut Nurcholis Madjid , mesti diarahkan pada cita-cita dan konsep masyarakat Madinah di bawah kepemimpinan Rasulullah SAW, yakni masyarakat yang: Pertama, masyarakat rabbaniyah yang memiliki semangat ketuhanan yang dihiasi tiga pilar penting yaitu aqidah, syariah dan akhlak. Kedua, masyarakat demokratis yang terbiasa bertradisi musyawarah. Ketiga, masyarakat yang toleran di tengah keperbedaan dan pluralitas. Keempat, masyarakat yang berkeadilan. Kelima, masyarakat berilmu.
Dalam konteks pendidikan Islam, maka upaya mewujudkan masyarakat madani mesti diarahkan pada praktik-praktik yang mengarah pada kultur rabbaniyah atas dasar standar aqidah, syariah dan akhlak yang ideal islami, kultur demokrasi melalui tradisi musyawarah dan melibatkan semua warga belajar dan pengelola kependidikan serta masyarakat, prinsip toleransi menyikapi keragaman, berkeadilan dan menjunjung tinggi ilmu pengetahuan. Prinsip-prinsip ini pula yang mesti diterapkan oleh lembaga pendidikan dalam proses interaksinya dengan masyarakat untuk turut berperan mewujudkan masyarakat madani dalam konteks lokal, nasional maupun nasional dan internasional
E. Refleksi Globalisasi
Apa yang ditimbulkan oleh globalisasi --baik manfaat maupun mudlaratnya—jelas memberikan tantangan tersendiri bagi lembaga pendidikan, termasuk pendidikan Islam. Di era yang serba terbuka itu, selain meniscayakan persaingan yang demikian ketat, juga bakal memunculkan akulturasi budaya yang demikian mudah dan cepat. Globalisasi memang demikian unik. Karena menurut VS Naipul (1996) ia akan memunculkan fenomena universal civilitation. Sementara dalam kesempatan yang sama menurut Yasraf Amir Piliang (1998) justru akan membangkitkan kesadaran lokal.
Berkaitan dengan tantangan globalisasi tersebut, lembaga pendidikan sebagai pencetak SDM unggul setidaknya harus memenuhi tipologi sekolah abad ke-21. Tipologi tersebut, menurut Lyn Haas (1994) menuntut setiap lembaga pendidikan untuk mampu memenuhi beberapa kualifikasi ideal, yakni:
Pertama, mewujudkan pendidikan untuk semua yakni memperlakukan siswa secara sama, memberikan pelajaran untuk memperoleh kompetensi keilmuan sesuai batas-batas kurikuler, memiliki basis skill dan keterampilan sesuai dengan minat merek dan kebutuhan pasar tenaga kerja.Ini pun harus diberengi dengan upaya integrasi pendidikan akademik sebagai persiapan memasuki perguruan tinggi dan pendidikan keterampilab untuk memasuki pasar tenaga kerja sesuai tuntutan perubahan masyarakat terhadap pendidikan untuk memberikan kontribusi terhadap kemajuan. Kedua, memberikan skill dan keterampilan yang sesuai dengan tuntutan pasar yang menghendaki setiap tenaga kerja memiliki keterampilan penggunaan alat-alat teknologi termodern, kemampuan komunikasi global, matematika serta kemampuan mengakses pengetahuan. Ketiga, penekanan pada kerjasama yakni menekankan pada pengalaman para siswa dalam melakukan kerjasama dengan yang lain melalui penugasan-penugasan kelompok dalam proses pembelajaran sehingga mereka memiliki pengalaman mengembangkan kerjasama. Karena trend pasar ke depan adalah pengembangan kerjasama, baik antara perusahaan atau antara perusahaan dengan masyarakat dan yang lainnya, sehingga pengalaman mereka belajar akan sangat bermanfaat dalam artikulasi diri di lapangan profesi mereka. Keempat, pengembangan kecerdasan ganda yakni bahwa para siswa harus diberi kesempatan untuk mengembangkan multiple intelligence mereka dengan memberi peluang untuk mengembangkan skill dan keterampilan yang beragam sehingga mudah melakukan penyesuaian di pasar tenaga kerja. Kelima, integrasi program pendidikan dengan kegiatan pengabdian kepada masyarakat agar mereka memiliki kepekaan sosial.
Dari beberapa gambaran mengenai globalisasi di atas, penulis setidaknya menemukan dua persoalan penting berkaitan era ini. Pertama, terjadinya benturan budaya yang akibatnya sangat fatal bagi kehidupan manusia. Marginalisasi bahkan pembunuhan budaya-budaya kecil oleh budaya-budaya besar dunia yang terjadi seiring dengan proses akulturasi dan penetrasi budaya yang dipermudah oleh sarana teknologi infomasi jelas akan mengakibatkan pergeseran bahkan krisis nilaidalam kehidupan manusia. Kedua, terjadinya penjajahan oleh Negara-negara besar terhadap Negara-negara kecil, khususnya di bidang politik dan ekonomi. Ini terjadi seiring dengan dominasi negara-negara besar di bidang industri dan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek). Dengan demikian, Negara-negara yang memiliki kapital lebih besar dan SDM yang handal akan terus menjadi penguasa ekonomi dan politik dunia, termasuk mendominasi persaingan antar manusia dan bangsa-bangsa di dunia.
Karenanya, praktik pendidikan Islam dan para pengelolanya mesti berupaya keras melakukan berbagai langkah agar tidak tertinggal dan mampu merespons tantangan global dengan turut memainkan peran di era ini.
Pertama, bagaimana pendidikan Islam mampu meningkatkan mutu pendidikannya, baik mutu belajar maupun mutu lulusannya baik di bidang akademik maupun tuntutan pasar kerja dengan mengaitkannya pada tuntutan dan tantangan global. Ini penting dilakukan agar proses pendidikan Islam bisa berkualitas sehingga bisa melahirkan lulusan yang berkualitas pula. Menyeimbangkan mutu pendidikan agama dan umum di lembaga pendidikan Islam, jelas menjadi sebuah kebutuhan mendasar bagi pendidikan Islam agar mampu membekali para siswanya dengan kemampuan ilmu agama dan ilmu umum yang berbasis Imtaq dan Iptek secara seimbang. Kenyataan mutu pendidikan Islam seperti di madrasah yang lebih rendah dibanding dengan sekolah-sekolah umum yang berada di bawah naungan Depdiknas menyiratkan betapa usaha untuk mewujudkan kualitas proses belajar dan mutu lulusan yang sesuai harapan demikian berat. Kedua, bagaimana madrasah secara eksternal mampu merepons berbagai tantangan global yang meniscayakan perubahan yang demikian cepat. Era persaingan global yang demikian kompetitif dan membutuhkan Sumber Daya Manusia (SDM) unggul yang bisa bersaing di era global merupakan sebuah tantangan dan kenyataan yang tidak bisa dielakkan. Termasuk tantangan kebudayaan serta pergeseran dan krisis nilai yang mesti dihadapi seiring dengan marginalisasi dan pembunuhan budaya-budaya kecil oleh budaya-budaya besar dan berpengaruh di dunia.
Karena itulah, dalam menghadapi berbagai perubahan dan tantangan global, para pengelola pendidikan Islam harus terbuka terhadap perubahan, inovasi dan pembaruan di lembaga pendidikan tersebut. Karena perubahan begitu cepat terjadi dan lembaga pendidikan seperti halnya madrasah dituntut untuk responsive dan dinamis terhadap berbagai perubahan, bukan malah statis dan anti perubahan.
Kemampuan lembaga pendidikan Islam melakukan adaptasi dan asimilasi budaya serta responsif terhadap perubahan dan tradisi lokal Indonesia sejak lama sehingga mendapat kepercayaan masyarakat hingga kini, jelas harus kembali diwujudkan di era persaingan global saat ini. Artinya, bagaimana ketangguhan lembaga pendidikan Islam dalam memainkan peran budaya dan responsif terhadap perubahan yang terjadi sepanjang perjalanan sejarahnya kini kembali diuji. Hanya saja, tantangan yang terjadi pada masa lalu berbeda dengan era kontemporer. Jika dahulu kala struktur masyarakat relatif sederhana dan tantangan perubahan zaman juga relatif tidak berat, maka era global menyajikan perubahan struktur masyarakat yang gradual dan tantangan yang maha berat. Tapi inilah realitas yang harus dihadapi, bukan dihindari. Karenanya madrasah harus bekerja ekstra keras untuk menghadapi tantangan tersebut jika tidak ingin tergusur oleh persaingan dan tak lagi mendapat simpati dan kepercayaan masyarakat untuk menyekolahkan putra dan putrinya atau tergusur dalam peran pemberdayaan masyarakat, transformasi sosial dan penjaga budaya dan nilai di era global.
F. Pendidikan Multikultural
Struktur masyarakat dunia –termasuk Indonesia kini semakin beragam –multi bangsa dan polyetnis. Will Kymlicka berdasar hasil penelitiannya mengungkapkan bahwa dari struktur 184 negara merdeka di dunia terdiri setidaknya dari 5.000 etnis dan 600 bahasa. Indonesia juga termasuk negara yang polyetnis, terdiri dari beragam suku di puluhan provinsi dan pulau- pulau yang membentanginya. Hal ini menunjukkan bahwa pluralitas menjadi sebuah realiatas yang tak bisa ditawar-tawar.
Dalam konteks Cirebon, pluralitas suku, bangsa dan etnis dan sejenisnya juga menjadi kenyataan yang menyejarah sejak dulu hingga kini. Posisinya yang berada di jalur perdagangan sutera (silk road), menurut Edi Sedyawati menghadirkan persilangan budaya antar bangsa di daerah ini.
Kenyataan mengenai beragamnya latar belakang budaya dan bangsa yang menghuni Cirebon sejak dulu hingga kini, menurut kajian T.D. Sudjana , terepresentasi dalam sebuah kereta buatan Pangeran Losari yang bernama Paksi Naga Lima yang hingga kini masih bisa dilihat di Kareton Kasepuhan. Paksi menggambarkan kebudayaan India (Hindu-Budha), Naga merepresentasikan kebudayaan Cina dan Liman sebagai lambang kebudayaan Islam.
Realitas yang menyejarah mengenai pluralitas bangsa, suku dan etnis di Cirebon ini sampai kini masih berwujud. Hal itu terlihat dari struktur masyarakat Cirebon yang terdiri dari beragam budaya, latar belakang bangsa, agama dan suku. Seperti terlihat pada masih hadirnya masyarakat kampung Arab, Cina, India, dan lainnya. Apalagi posisi Cirebon yang terhimpit oleh kebudayaan besar Jawa dan Sunda yang menjadikannya sebagai masyarakat yang memiliki identitas sendiri yang disebut T.D. Sudjana sebagai masyarakat yang terbuka dan tetap berpegang teguh pada tradisi budaya khasnya yang tosblong (apa adanya) yang dibentuk semasa kepemimpinan Sunan Gunung Djati, Mbah Kuwu Sangkan dan Pangeran Girilaya.
Kenyataan-kenyataan tersebut tentu harus direspon oleh lembaga pendidikan sebagai agen budaya, pemberdaya siswa dan agen perubahan sosial, termasuk pendidikan Islam. Karenanya, menurut Haidar Putra Daulay pendidikan islam mesti mampu mengakomodir semangat berdampingan secara damai dan aman penuh toleransi, saling menghargai dan memahami di tengah keperbedaan suku, bangsa, bahasa, budaya dan agama. Praktik penyelenggaraan pendidikan dalam konteks ini, menurutnya, mesti menjadi perekat pluralitas tersebut.
G. Kesimpulan
Pertama, demokrasi menjadi kata penting dalam upaya peningkatan mutu pendidikan, termasuk pendidikan Islam. Kedua, prinsip demokrasi sesungguhnya sesuai dengan semangat ajaran dan praktik umat Islam sejak zaman Nabi Muhammad SAW hingga tradisi Sunni sehingga bisa diterapkan dalam praktik penyelenggaraan pendidikan Islam. Ketiga, demokrasi pendidikan Islam mesti diterapkan pada perencanaan, penyelenggaraan KBM dan evaluasi. Keempat, demokrasi pendidikan mencakup prinsip pemanusiaan manusia, civil society dan pendidikan multikultural.
Rabu, 15 April 2009
Konsep Qalb dalam Psikologi Agama (Islam)
I. P E N D A H U L U A N
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Baharuddin yang dijelaskan dalam bukunya ”Aktualisasi psikologi Islami” mengatakan bahwa: ayat-ayat yang membicarakan manusia dengan metode tafsir tematik, selanjutnya menganalisisnya dengan metode ”pemaknaan dan analisis reflektif” dapat dirumuskan tiga aspek dan enam dimensi diri manusia. Ketiga aspek tersebut adalah jismiah, nafsiah, dan ruhaniah.
Aspek jismiah adalah keseluruhan organ fisik biologis. Aspek nafsiah adalah keseluruhan sistem kualitas insani yang meliputi pikiran, perasaan dan kemauan. Dalam aspek nafsiah ini terdapat tiga dimensi yaitu dimensi al-qalb, dimensi al-Aql, dan dimensi al-Nafs.
Dan aspek ruhaniah adalah keseluruhan potensi luhur diri manusia. Potensi luhur itu memancar dari dimensi al-ruh dan alfitrah.
Aspek ruhaniah ini adalah aspek psikis manusia yang bersifat spiritual dan transendental. Bersifat spiritual karena ia merupakan potensi luhur batin manusia. Potensi luhur batin ini merupakan sifat dasar dalam diri manusia yang berasal dari ruh ciptaan Allah. Sifat spiritual ini muncul dari dimensi psikis manusia yang mengatur hubungan manusia dengan yang Maha Transenden, yaitu Allah. Fungsi ini muncul dari dimensi al-fitrah. Berdasarkan itu, maka aspek ruhaniah ini memiliki dua dimensi psikis yaitu al-Ruh dan al-Fitrah.
Sebagaimana dijelaskan diatas bahwa dimensi al-Qalb merupakan bagian dari aspek nafsiah yang merupakan dimensi psikis manusia. Dimensi ini memiliki peranan yang sangat penting dalam memberikan sifat insaniah atau sifat kemanusian. Kondisi al-Qalb tercermin dalan sistem behavior dan sistem sosial . Sehingga apabila sistem behavior dan sistem sosial baik dapat dikatakan bahwa demikianlah cerminan al-Qalbnya, dan dapat dikatakan bahwa qalbnya itu baik ( baik hati).
Dalam tulisan ini akan dibahas tentang Konsep al-Qalb dalam psikologi agama dengan maksud untuk:
1. Menemukan Idealisasi Islam tentang Konsep al-Qalb dalam Psikologi Islami, yang dikaji dari aspek teoritis dan formal, dengan menjawab pertanyaan, apa Konsep Al-Qalb dalam Psikologi Islami?
2. Melakukan idealisasi dari perspektif Islam terhadap proses dan perilaku al-Qalb, yang kajiannya secara praksis dan substansial dengan menjawab pertanyaan, Bagaimana Isi, ciri-ciri / karakteristik konsep al-Qalb dalam Psikologi Islami?
3. Melakukan idealisasi dari perspektif Islam terhadap relevansi dan nilai guna konsep al-Qalb dalam penyelenggaraan pendidikan Islam, wilayah kajiannya yang ditinjau dari sisi Aksiologi, dengan menjawab pertanyaan mengapa al-Qalb penting dalam penyelenggaraan pendidikan Islam?
II.PENGERTIAN, MAKNA DAN PERANAN AL-QALB
A.PENGERTIAN AL-QALB
Psikis manusia dapat dipahami dari banyak istilah lainnya yang semakna dengan al-qalb yang mengandung makna fungsi tersebut. Diantaranya adalah: (1). As-Sadr yaitu tempat perasaan was-was: (2) Al-qalb merupakan tempat iman: (3). Asy-Syaghaf yaitu tempat cinta: (4). Al-fuad, yang dapat memelihara kebenaran: (5) Habat al-qalb, yaitu tempat cinta dan kebenaran: (6). As-suwidah, yaitu tempat ilmu dan agama: (7). Mahajah al-qalb, yang merupakan manifestasi sifat-sifat Allah: (8). Al-damir, yang merupakan tempat merasa dan daya rekoleksi (al-quwwah al-latifah) dan (9). As.sirr, sebagai bagian qalb yang palinh halus dan rahasia.
Demikian banyaknya nama dan peran al-qalb dalam sistem psikis manusia jadi tepatlah kiranya jika al-qalb menjadi penentu dalam kapasitas kebaikan dan keburukan seseorang. Dalam sebuah hadist disebutkan bahwa al-qalb memiliki fungsi strategis dan fungsi dalam diri manusia. Hadist tersebut artinya “ sesungguhnya di dalam tubuh manusia terdapat segumpal daging, apabila ia baik maka akan baiklah seluruh tubuh, tetapi apabila ia rusak, maka akan rusaklah seluruh tubuh. Ketahuilah bahwa ia adalah al-qalb. (HR. Al-Bukhari dari Nukman Ibn Basyir).
Dalam hadist tersebut diatas memang secara tekstual disebutkan segumpal daging. Para ahli menjelaskan bahwa yang dimaksud adalah jantung. Jika jantung rusak maka kemungkinan besar organ tubuh yang lain akan tidak berfungsi. Ini pemahaman yang mudah dan sederhana, karena bersifat fisik dan tektual. Namun disini juga dapat dilihat dari telaah terhadap ayat-ayat yang menjelaskan istilah al-qalb tersebut.
B.MAKNA AL-QALB
Berdasarkan telaah terhadap ayat-ayat yang menggunakan istilah al-qalb, yang disebutkan sebanyak 132 kali, masing-masing dalam 126 ayat al-qur’an dapat dijelaskan beberapa karakteristik al-qalb. Dalam hal ini dapat dilihat dari dua sudut pandang fungsi dan sudut pandang kondisi.
Pertama, dari sudut fungsi al-qalb memiliki sedikitnya tiga fungsi sebagai berikut: (1) fungsi kognisi yang menimbulkan daya cipta; seperti berfikir (aql), memahami (fiqih), mengetahui (ilm), memperhatikan (dabr), mengingat (dzikr), dan melupakan (khilaf). (2). Fungsi emosi yang menimbulkan daya rasa, seperti tenang ( tama’ninah), jinak atau sayang (ulfah), senang (ya’aba), santun dan penuh kasih sayang (ra’fah wa rahmah), tunduk dan bergetar (wajilat), mengikat (ribat), kasar (glaliz), takut (ru’ub), dengki (gilun), berpaling (zayq), panas (ghaliz), sombong (hamiyah), kesan (isyma’azza), dan lain-lain. (3). Fungsi konasi yang menimbulkan daya karsa, seperti berusaha (kasb).
Kedua, dari sudut kondisinya, dari sudut kondisi ini dapat dilihat dari dua bagian yaitu: qalb yang baik dan qalb yang buruk, bahkan qalb yang berada diantara qalb baik dan qalb buruk, selengkapnya adalah:
1.Kondisi qalb yang baik adalah bahwa ia dianggap hidup (al-hayyah) seperti kondisi sehat (salim), bening (mail), bersih (tuhur), baik (khair). Selanjutnya kondisi qalb yang seperti ini akan menghasilkan akan menghasilkan iman, seperti takwa, khusuk, taubat, sabar, dan lain-lain. Qalb seperti ini akan menjadi putih bersih karena telah menerima kebenaran.
2.Kondisi qalb yang tidak baik adalah qalb yang dianggap mati (al-maytah): seperti berpaling (al-zarf), sesat (gamrah), buta (ta’ma) dan kasar (qast). Kondisi qalb yang mati ini mengakibatkan kekafiran dan keingkaran. Qalb seperti ini adalah qalb yang mendapat kegelapan (qalbun sauda’), karena ia tidak dapat menerima kebenaran.
3.Kondisi qalb antara yang baik dan yang buruk. Qalb ini hidup tetapi mengidap penyakit (marad): seperti kemunafikan (nifaq), keragu-raguan (irtibat). Qalb seperti ini adalah qalb yang kotor, sebab ia menerima kebenaran tetapi kadang-kadand menolaknya. Tetapi kotoran dan penyakitnya masih dapat dibersihkan dengan cara taubat.
Selaras dengan pendapat diatas Al-ghazali dalam bukunya mengobati penyakit hati mengatakan bahwa al-qalb merupakan tempat hikmah, ma’rifat dan cinta kepada Allah. Sehubungan dengan itu ada beberapa upaya untuk menjaga qalb tetap bersih dan terhindar dari fitnah serta untuk mengetahui celah diri adalah sebagai berikut:
1.Kunjungi guru yang dipandang mempunyai pengetahuan luas tentang aib diri.
2.Carilah seorang teman yang jujur, baik akhlaknya dan bijaksana dan taat bergama.
3.hendaklah seseorang ini dapat mengambil manfaat dari celah jiwanya yang berasal dari mulut musuh-musuhnya.
4.mencemplungkan diri kedalam pergaulan masyarakat untuk bergaul dengan orang banyak.
C.KEPRIBADIAN MUTMAINNAH
Kepribadian muthmainnah adalah kepribadian yang telah diberikan kesempurnaan nur qalb, sehingga dapat meninggalkan sifat-sifat tercela dan tumbuh sifat-sifat yang baik. Kepribadian ini selalu berorientasi kekomponen qalb untuk mendapatkan kesucian dan menghilangkan segala kotoran sehingga dirnya menjadi tenang.
Kepribadian muthmainah bersumber dari qalb manusia, sebab hanya qalb yang mampu merasakan thuma’ninnah. Sebagai komponen yang bernatur Ilahiyyah, qalb selalu cenderung pada ketenangan dalam beribadah, menyintai, bertaubat, bertawakal dan mencari Ridha Allah SWT. Orientasi kepribadian ini adalah teosentirs (QS. Al-Nazi’at: 40-41).
Kepribadian mutmainnah merupakan kepribadian atas sadar atau supra – kesadaran manusia. Dikatakan demikian sebab kepribadian ini merasa tenang dalam menerima keyakinan fitrah. Keyakinan fitrah adalah keyakinan yang dihujamkan pada ruh manusia (fitrah al-munazzalah) dialam arwah dan kemudian dilegitimasi oleh wahyu Illahi. Penerimaan ini tidak bimbang apalagi ragu-ragu seperti yang dialami oleh kepribadian lawwamah, tetapi penuh keyakinan. Oleh sebab itu ia terbiasa menggunakan metode zawq (cita rasa) dan ‘aina al-bashirah (mata batin) dalam menerima sesuatu sehingga ia merasa yakin dan tenang.
Al-ghazali menyatakan bahwa daya qalb (yang mendominasi kepribadian mutmainnah) mampu mencapai pengetahuan (ma’rifah) melalui daya cita rasa dan kasyf (terbukanya tabir misteri yang menghalangi penglihatan penglihatan batin manusia). Sedangkan Ibnu Khaldun menyatakan dalam “mukadimmah” bahwa ruh qalb itu disinggahi oleh ruh akal. Ruh akal secara subtansial mampu mengetahui apa saja di alam amar, sebab ia berpotensi demikian. Ia kadang-kadang tidak mampu mencapai pengetahuan itu disebabkan adanya penghalang (hijab), di badan dan indera. Apabila penghalang itu hilang maka ia mampu menembus pengetahuan tersebut.
Dengan kekuatan dan kesucian daya qalb maka manusia mampu memperoleh pengetahuan, wahyu dan ilham dari Tuhan. Wahyu diberikan pada para nabi, sedang ilham diberikan pada manusia suci biasa. Kebenaran pengetahuan ini bersifat supra-rasional, sehingga bisa jadi ia tidak mampu diterima oleh akal. Pengetahuan yang dapat ditangkap oleh akal seharusnya dapat pula dapat ditangkap oleh qalb, sebab qalb sebagian dayanya digunakan untuk berakal. Namun sebaliknya, pengetahuan yang diterima oleh qalb belum tentu dapat diterima oleh akal, sebab kemampuan kemampuan akal (otak) di bawahnya.
Kepribadian mutmainnah berbentuk enam kompetensi keimanan, lima kompetensi keislaman, dan multi kompetensi keihsanan. Aktualisasi bentuk-bentuk ini dimotivasi oleh energi psikis yang disebut dengan amanah yang dihujamkan oeh Allah SWT. Di alam arwah (ruh al munazzalah). Realisasi amanah selain berfungsi memenuhi kebutuhan juga melaksanakn kewajiban jiwa. Dikatakan kebutuhan sebab jika tidak direalisasikan maka mengakibatkan kecemasan, kegelisahan dan ketegangan, dan dikatakan kewajiban sebab pelaksanaannya telah diatur sedemikian rupa oleh Tuhan.
D.HAKEKAT FITRAH DAN CITRA MANUSIA DALAM PSIKOLOGI ISLAM
Fitrah diungkap dalam al-qur’an sebanyak 20 kali yang terdapat didalam 17 surat. Diantara yang memuat kata fitrah adalah QS. Ar-Rum ayat 30:
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لا يَعْلَمُونَ
Artinya “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” (Qs Ar-rum : 30)
Firman tersebut menunjukan bahwa manusia diciptakan oleh Allah SWT menurut fitrahnya. Fitrah ini merupakan citra manusia yang penciptaannya tidak ada perubahan, maka eksistensi manusia menjadi hilang. Keajegan fitrah sebagai pertanda agama yang lurus, walaupun hal itu tidak diketahui oleh kebanyakan manusia. Oleh karena itu, untuk mengetahui citra manusia maka dapat ditelusuri hakekat fitrah.
1.Makna Fitrah
Dalam literatur Islam, istilah fitrah meiliki makna yang beragam. Hal itu disebabkan oleh pemilihan sudut makna. Fitrah dapat dimakanai secara etimologi (basic meaning), terminologi, bahkan makna nasabah (relation meaning). Masing-masing makna tersebut memiliki implikasi psikologis.
Secara etimologi fitrah berarti “terbukanya sesuatu dan melahirkannya” seperti orang yang berbuka puasa. Dari makna dasar tersebut maka berkembang menjadi dua makna pokok. Pertama, fitrah berarti al-insyiqaq atau al-syaqq Iyang berarti al-inkisar (pecah belah). Kedua, fitrah berarti al-khilqah, al-ijad, atau al-ibda’ (penciptaan).
Kedua makna tersebut sebenarnya saling melengkapi. Manusia merupakan mikro kosmos (alam kecil), sedangkan kosmos adalah manusia makro. Manusia merupakan miniatur alam yang kompleks. Fisiknya menggambarkan alam fisikal, sedangkan psikisnya menggambarkan alam kejiwaaan.
Secara nasabi fitrah memiliki beberapa makna: (1). Fitrah berarti suci (al-thuhr), hal ini didasarkan atas hadis Nabi yang artinya “ setiap anak itu dilahirkan dalam kondisi fitrah (suci), maka kedua orang tuanya yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, Majusi, atau Musyrik” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah).
Maksud suci disini bukan berarti kosong atau netral (tidak memiliki kecenderungan baik - buruk ) sebagaimana yang diteorikan oleh Jhon Locke atau Psiko-Behavioristik, melainkan kesucian psikis yang terbebas dari dosa warisan dan penyakit rohani.
(2). Fitrah berarti potensi berislam. Peranan semacam ini dikemukakan oleh Abu Hurairah bahwa fitrah berarti beragama islam. Pemaknaan tersebut menunjukan bahwa tujuan penciptaan manusia adalah penyerahan kepada yang mutlak (ber-Islam).
(3). Fitrah berarti mengakui ke-Esaan Allah. Manusia lahir dengan membawa potensi tauhid, atau paling tidak ia berkecenderungan untuk mengesakan Tuhan, dan berusaha secara terus menerus untuk mencari dan mencapai ketauhidan tersebut.
(4). Fitrah berarti kondisi selamat (al-salamah) dan kontinutas (al-istiqamah). Pemaknaan ini dikemukakan oleh Abu Umar ibn ‘Abd al-Bar, dalam hadist Qudsi dinyatakan “sesungguhnya Aku (Allah) menciptakan hamba-hamba-Ku dalam keadaan hanif (kontinue dan selamat). Maka syaitanlah yang menarik kepada keburukan.” (HR. Ahmad ibn Hambal dari ‘Iyadh ibn Humair). Menurut ‘Abd al-Bar, fitrah secara aktual tidak mengandung iman dan kufur, juga tidak mengenal Allah atau mengingkari-Nya. Fitrah secara potensial berarti keselamatan dalam proses penciptaan, watak, dan strukturnya. Iman dan kufurnya baru tumbuh setelah manusia mencapai akil baligh, sebab ketika masih bayi atau anak-anak, mereka belum mampu berfikir, apalagi menerima keberadaan Tuhan.
(5) fitrah berarti perasaan yang tulus (al-Ikhlas). Manusia lahir dengan membawa sifat baik. Diantara sifat itu adalah ketulusan dan kemurnian dalam melakukan aktivitas. Pemaknaan tulus ini merupakan konsekuensi fitrah manusia yang harus berpotensi Islam dan Tauhid. Sebab dengan berislam berarti seseorang telah menghambakan diri kepada Zat yang Mutlak, yaitu Allah SWT, dan menghilangkan segala sesuatu yang temporal dan nisbi.
(6). Fitrah berarti kesanggupan atau predisposisi untuk menerima kebenaran. Secara fitri manusia lahir cenderung berusaha mencari dan menerima kebenaran, walaupun pencarian itu masih tersembunyi dalam qalb yang paling dalam. (7). Fitrah berarti potensi dasar manusia atau perusahaan untuk beribadah dan makrifat kepada Allah. (8). Fitrah berarti ketetapan atau takdir asal manusia mengeani kebahagian dan kesengsaraan hidup. (9). Fitrah berarti tabiat atau watak asli manusia. (10). Fitrah berarti sifat-sifat Allah SWT yang ditiupkan pada setiap manusia sebelum dilahirkan. Dan (11). Fitrah dalam beberapa hadist memiliki arti takdir atau status anak yang dilahirkan.
Berdasarkan makna etimologi dan nasabi maka daopat disimpulkan bahwa secara terminologi “ fitrah adalah citra asli yang dinamis, yang terdapat pada sistem-sistem psikofisik manusia dan dapat diaktualisasikan dalam bentuk tingkah laku. Citra unik tersebut telah ada sejak awal penciptaannya.
2.Fitrah dan Citra Manusia sebuah Implikasi Psikologis
Konsep fitrah sebagaimana tergambar diatas menunjukan citra unik manusia yang menjadi landasan bagi konstruk psikologi Islam. Islam secara empris – eksperimental belum memiliki teori-teori psikologis yang mapan. Meskipun demikian tidak berarti bangunan psikologi Islam mengadopsi dari teori-teori psikologi kontemporer, sebab secara spekulatif kedua pendekatan itu memiliki kerangka filosofis yang berbeda tentang hakekat manusia. Citra unik manusia dalam Psikologi Islam dapat disederhanakan dalam beberapa point berikut ini.
(1). Manusia dilahirkan dengan citra yang baik, seperti membawa potensi suci, ber-Islam, ber-Tauhid, Ikhlas, mampu memikul amanah Allah SWT untuk menjadi Khalifah dan hamba-Nya di muka bumi, dan memiliki potensi dan daya pilih. Potensi baik tersebut perlu diaktualisasikan dalam tingkah laku yang nyata. Citra baik tersebut pada mulanya disangsikan oleh malaikat dan iblis, namun setelah Allah SWT menyakinkannya maka malaikat percaya akan kemampuan manusia, sementara iblis dengan kesombongannya tetap mengingkarinya.
(2). Selain jasad, manusia memiliki ruh yang berasal dari Tuhan. Ruh menjadi esensi kehidupan manusia. Melalui fitrah ruhani maka (a). Hakekat manusia tidak hanya dilihat dari aspek biologis namun juga dari aspek ruhaniah. (b). Kebutuhan ruh yang utama adalah agama, yang teraktualisasikan dalam bentuk ibadah. (c). Periode kehidupan manusia bukan hanya diawali dari pra-natal sampai kematian, tetapi jauh sebelum dan sesudahnya masih terdapat alam lagi, yaitu alam perjanjian (pra kehidupan dunia), alam dunia, dan alam akhirat (pasca kehidupan dunia). Semua kehidupan manusia tidak akan sia-sia.
(3). Melalui fitrah nafsani (psikofisik) dalam psikologi Islam, maka (a) pusat tingkah laku adalah qalb, bukan otak atau jasmani manusia. (b). Manusia dapat memperoleh pengetahuan tanpa diusahakan, seperti pengetahuan intuitif dalam bentuk Wahyu dan Ilham; (3). Tingkat kepribadian manusia tidak hanya sampai pada humanitas atau sosialitas, tetapi sampai kepada berketuhanan. Tuhan merupakan asal dan tujuan dari segala realitas.
E. QALB SEBAGAI PUSAT GARAPAN PENDIDIKAN ISLAM
Tolak ukur pendidikan Islam adalah iman dan titik tolak yang benar adalah pemusatan pada qalb, sehingga qalb itu emnjadi sehat dan baik, sebab proses pendidikan semacam ini sangat aman dan tenang dalam mendudukan manusia menjadi manusia, dan sangat aman untuk meletakan dan mengeluarkan manusia dari wilayah bujukan , gangguan, dan fitnah syaitan, baik syaitan yang berbentuk jin ataupun manusia. Allah SWT. Berfirman dalam QS Al-An’am:112-113;
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيَاطِينَ الإنْسِ وَالْجِنِّ يُوحِي بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُورًا وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ مَا فَعَلُوهُ فَذَرْهُمْ وَمَا يَفْتَرُونَ
وَلِتَصْغَى إِلَيْهِ أَفْئِدَةُ الَّذِينَ لا يُؤْمِنُونَ بِالآخِرَةِ وَلِيَرْضَوْهُ وَلِيَقْتَرِفُوا مَا هُمْ مُقْتَرِفُونَ
Artinya : “Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan (dan jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). Jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan. Dan (juga) agar hati kecil orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat cenderung kepada bisikan itu, mereka merasa senang kepadanya dan supaya mereka mengerjakan apa yang mereka (syaitan) kerjakan. “
Dari ayat ini diketahui bahwa qalb yang cenderung kepada syaitan yang berbentuk manusia dan jin, dan qalb yang suka pada godaan dan gangguannya adalah manusia yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat. Itulah sebabnya, jika kita hendak mengeluarkan manusia dari wilayah gangguan syaitan, kita wajib memulai dari perbaikan al-qalb.
Dari uraian di atas tampak bahwa titik tolak yang benar dan sasaran utama pendidikan Islam adalah Qalb hati), agar qalb itu mampu mencapai kondisi yang sehat. Kegagalan dalam hal ini sama dengan kegagalan dalam membentuk pribadi Muslim hakiki yang setia dan konsisten terhadap perintah-perintah Allah dan Agamanya.
Kegagalan proses kerja al-Qalb dapat melahirkan semacam penyakit psikis, atau bahkan – secara tidak tertahankan biasa melahirkan semacam kelompok separatis ekstremis (ghulat). Disamping itu akan melahirkan pula sekelompok manusia fasik, munafik, pendusta dan murtad. Tak ada lagi hati yang selamat sehingga kerusakan duniawi dan ukhrawi meluas dan merajalela.
Setiap Muslim haruslah memiliki semangat dan ketekunan yang kontinue untuk dapat sampai dan memperoleh hati yang bening, bersih, dan selamat. Sebenarnya manusia dihadapkan pada dua alternatif: perhatian qalbnya secara total terpusat kepada perjalanan ruhaniahnya, atau terarah pada banyak hal.
Qalb dalam kondisi lemah iman, kurang bercahaya, atau dalam kondisi sakit dan keras, dapat dengan mudah dikalahkan oleh hawa nafsu. Ia menyerah di hadapan nafsu birahi dan menyerah di hadapan penyakit-penyakit lainnya. Sifat sombong mengarahkan qalb dan jiwanya, sifat hasud menyetir qalb kemudian jiwanya, begitulah seterusnya.
Semakin jelas bahwa titik tolak yang benar dalam pendidikan Islam adalah pemusatan program pada perbaikan Qalb. Karena tahap pertama yang menjadi pusat perhatian dan kerja para sufi adalah program-program yang berkaitan dengan masalah qalb.
III. K E S I M P U L A N
Dari penjelasan yang telah dipaparkan diatas dapat disimpulkan bahwa:
1.Secara teoritis arti al-qalb adalah hati, dimana kondisi hati menurut M. Quraish Shihab, selalu bolak-balik. Tetapi disamping makna seperti itu ada banyak makna yang identik dan semakna dengan pengertian al-qalb, seperti: (1). As-Sadr yaitu tempat perasaan was-was: (2) Al-qalb merupakan tempat iman: (3). Asy-Syaghaf yaitu tempat cinta: (4). Al-fuad, yang dapat memelihara kebenaran: (5) Habat al-qalb, yaitu tempat cinta dan kebenaran: (6). As-suwidah, yaitu tempat ilmu dan agama: (7). Mahajah al-qalb, yang merupakan manifestasi sifat-sifat Allah: (8). Al-damir, yang merupakan tempat merasa dan daya rekoleksi (al-quwwah al-latifah) dan (9). As.sirr, sebagai bagian qalb yang palinh halus dan rahasia.
2.Karakteristik dan peranan al-qalb meliputi : Pertama, dari sudut fungsi al-qalb memiliki sedikitnya tiga fungsi sebagai berikut: (1) fungsi kognisi yang menimbulkan daya cipta; seperti berfikir (aql), memahami (fiqih), mengetahui (ilm), memperhatikan (dabr), mengingat (dzikr), dan melupakan (khilaf). (2). Fungsi emosi yang menimbulkan daya rasa, seperti tenang ( tama’ninah), jinak atau sayang (ulfah), senang (ya’aba), santun dan penuh kasih sayang (ra’fah wa rahmah), tunduk dan bergetar (wajilat), mengikat (ribat), kasar (glaliz), takut (ru’ub), dengki (gilun), berpaling (zayq), panas (ghaliz), sombong (hamiyah), kesan (isyma’azza), dan lain-lain. (3). Fungsi konasi yang menimbulkan daya karsa, seperti berusaha (kasb).Kedua, dari sudut kondisinya, dari sudut kondisi ini dapat dilihat dari dua bagian yaitu: qalb yang baik dan qalb yang buruk, bahkan qalb yang berada diantara qalb baik dan qalb buruk.
3.Pentingnya al-qalb dalam pendidikan islam dikarenakan al-qalb merupakn tolak ukur dari keberhasilan sistem pendidikan islam. Jadi baik-buruknya hasil pendidikan islam lebih cederung ditentukan oleh baik buruknya al-qalb peserta didik dan komponen-komponennya.
DAFTAR BACAAN
Abdul Aziz Al-Darimi “ Pembersih Kalbu “. Terj. Mudzakir AS, Bandung: Pustaka Pelajar, 2000
Abdul Mujib, M.Ag & Jusuf Mudzakir, M.Si “Nuansa-Nuansa Psikologi Islam” Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001
Al-Ghazali “ Mengobati Penyakit Hati Membentuk Akhlak Mulia”. Terj. Muhammad Al-Baqir, Bandung: Karisma, 1994.
Baharuddin “ Aktualisasi Psikologi Islami” Bandung: Pustaka pelajar, 2005
Imam Al-Ghazali “ Mengobati Penyakit Hati”. Terj. Achmad Sumanto, Jakarta: Pustaka Amani, 1989.
Sa’id Hawwa “ Jalan Ruhani (Bimbingan tasawuf Untuk Para Aktivis Islam) “. Terj. Drs. Khaerul Rafie’ M dan Ibnu Thaha Ali, Bandung: Mizan, 2001.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Baharuddin yang dijelaskan dalam bukunya ”Aktualisasi psikologi Islami” mengatakan bahwa: ayat-ayat yang membicarakan manusia dengan metode tafsir tematik, selanjutnya menganalisisnya dengan metode ”pemaknaan dan analisis reflektif” dapat dirumuskan tiga aspek dan enam dimensi diri manusia. Ketiga aspek tersebut adalah jismiah, nafsiah, dan ruhaniah.
Aspek jismiah adalah keseluruhan organ fisik biologis. Aspek nafsiah adalah keseluruhan sistem kualitas insani yang meliputi pikiran, perasaan dan kemauan. Dalam aspek nafsiah ini terdapat tiga dimensi yaitu dimensi al-qalb, dimensi al-Aql, dan dimensi al-Nafs.
Dan aspek ruhaniah adalah keseluruhan potensi luhur diri manusia. Potensi luhur itu memancar dari dimensi al-ruh dan alfitrah.
Aspek ruhaniah ini adalah aspek psikis manusia yang bersifat spiritual dan transendental. Bersifat spiritual karena ia merupakan potensi luhur batin manusia. Potensi luhur batin ini merupakan sifat dasar dalam diri manusia yang berasal dari ruh ciptaan Allah. Sifat spiritual ini muncul dari dimensi psikis manusia yang mengatur hubungan manusia dengan yang Maha Transenden, yaitu Allah. Fungsi ini muncul dari dimensi al-fitrah. Berdasarkan itu, maka aspek ruhaniah ini memiliki dua dimensi psikis yaitu al-Ruh dan al-Fitrah.
Sebagaimana dijelaskan diatas bahwa dimensi al-Qalb merupakan bagian dari aspek nafsiah yang merupakan dimensi psikis manusia. Dimensi ini memiliki peranan yang sangat penting dalam memberikan sifat insaniah atau sifat kemanusian. Kondisi al-Qalb tercermin dalan sistem behavior dan sistem sosial . Sehingga apabila sistem behavior dan sistem sosial baik dapat dikatakan bahwa demikianlah cerminan al-Qalbnya, dan dapat dikatakan bahwa qalbnya itu baik ( baik hati).
Dalam tulisan ini akan dibahas tentang Konsep al-Qalb dalam psikologi agama dengan maksud untuk:
1. Menemukan Idealisasi Islam tentang Konsep al-Qalb dalam Psikologi Islami, yang dikaji dari aspek teoritis dan formal, dengan menjawab pertanyaan, apa Konsep Al-Qalb dalam Psikologi Islami?
2. Melakukan idealisasi dari perspektif Islam terhadap proses dan perilaku al-Qalb, yang kajiannya secara praksis dan substansial dengan menjawab pertanyaan, Bagaimana Isi, ciri-ciri / karakteristik konsep al-Qalb dalam Psikologi Islami?
3. Melakukan idealisasi dari perspektif Islam terhadap relevansi dan nilai guna konsep al-Qalb dalam penyelenggaraan pendidikan Islam, wilayah kajiannya yang ditinjau dari sisi Aksiologi, dengan menjawab pertanyaan mengapa al-Qalb penting dalam penyelenggaraan pendidikan Islam?
II.PENGERTIAN, MAKNA DAN PERANAN AL-QALB
A.PENGERTIAN AL-QALB
Psikis manusia dapat dipahami dari banyak istilah lainnya yang semakna dengan al-qalb yang mengandung makna fungsi tersebut. Diantaranya adalah: (1). As-Sadr yaitu tempat perasaan was-was: (2) Al-qalb merupakan tempat iman: (3). Asy-Syaghaf yaitu tempat cinta: (4). Al-fuad, yang dapat memelihara kebenaran: (5) Habat al-qalb, yaitu tempat cinta dan kebenaran: (6). As-suwidah, yaitu tempat ilmu dan agama: (7). Mahajah al-qalb, yang merupakan manifestasi sifat-sifat Allah: (8). Al-damir, yang merupakan tempat merasa dan daya rekoleksi (al-quwwah al-latifah) dan (9). As.sirr, sebagai bagian qalb yang palinh halus dan rahasia.
Demikian banyaknya nama dan peran al-qalb dalam sistem psikis manusia jadi tepatlah kiranya jika al-qalb menjadi penentu dalam kapasitas kebaikan dan keburukan seseorang. Dalam sebuah hadist disebutkan bahwa al-qalb memiliki fungsi strategis dan fungsi dalam diri manusia. Hadist tersebut artinya “ sesungguhnya di dalam tubuh manusia terdapat segumpal daging, apabila ia baik maka akan baiklah seluruh tubuh, tetapi apabila ia rusak, maka akan rusaklah seluruh tubuh. Ketahuilah bahwa ia adalah al-qalb. (HR. Al-Bukhari dari Nukman Ibn Basyir).
Dalam hadist tersebut diatas memang secara tekstual disebutkan segumpal daging. Para ahli menjelaskan bahwa yang dimaksud adalah jantung. Jika jantung rusak maka kemungkinan besar organ tubuh yang lain akan tidak berfungsi. Ini pemahaman yang mudah dan sederhana, karena bersifat fisik dan tektual. Namun disini juga dapat dilihat dari telaah terhadap ayat-ayat yang menjelaskan istilah al-qalb tersebut.
B.MAKNA AL-QALB
Berdasarkan telaah terhadap ayat-ayat yang menggunakan istilah al-qalb, yang disebutkan sebanyak 132 kali, masing-masing dalam 126 ayat al-qur’an dapat dijelaskan beberapa karakteristik al-qalb. Dalam hal ini dapat dilihat dari dua sudut pandang fungsi dan sudut pandang kondisi.
Pertama, dari sudut fungsi al-qalb memiliki sedikitnya tiga fungsi sebagai berikut: (1) fungsi kognisi yang menimbulkan daya cipta; seperti berfikir (aql), memahami (fiqih), mengetahui (ilm), memperhatikan (dabr), mengingat (dzikr), dan melupakan (khilaf). (2). Fungsi emosi yang menimbulkan daya rasa, seperti tenang ( tama’ninah), jinak atau sayang (ulfah), senang (ya’aba), santun dan penuh kasih sayang (ra’fah wa rahmah), tunduk dan bergetar (wajilat), mengikat (ribat), kasar (glaliz), takut (ru’ub), dengki (gilun), berpaling (zayq), panas (ghaliz), sombong (hamiyah), kesan (isyma’azza), dan lain-lain. (3). Fungsi konasi yang menimbulkan daya karsa, seperti berusaha (kasb).
Kedua, dari sudut kondisinya, dari sudut kondisi ini dapat dilihat dari dua bagian yaitu: qalb yang baik dan qalb yang buruk, bahkan qalb yang berada diantara qalb baik dan qalb buruk, selengkapnya adalah:
1.Kondisi qalb yang baik adalah bahwa ia dianggap hidup (al-hayyah) seperti kondisi sehat (salim), bening (mail), bersih (tuhur), baik (khair). Selanjutnya kondisi qalb yang seperti ini akan menghasilkan akan menghasilkan iman, seperti takwa, khusuk, taubat, sabar, dan lain-lain. Qalb seperti ini akan menjadi putih bersih karena telah menerima kebenaran.
2.Kondisi qalb yang tidak baik adalah qalb yang dianggap mati (al-maytah): seperti berpaling (al-zarf), sesat (gamrah), buta (ta’ma) dan kasar (qast). Kondisi qalb yang mati ini mengakibatkan kekafiran dan keingkaran. Qalb seperti ini adalah qalb yang mendapat kegelapan (qalbun sauda’), karena ia tidak dapat menerima kebenaran.
3.Kondisi qalb antara yang baik dan yang buruk. Qalb ini hidup tetapi mengidap penyakit (marad): seperti kemunafikan (nifaq), keragu-raguan (irtibat). Qalb seperti ini adalah qalb yang kotor, sebab ia menerima kebenaran tetapi kadang-kadand menolaknya. Tetapi kotoran dan penyakitnya masih dapat dibersihkan dengan cara taubat.
Selaras dengan pendapat diatas Al-ghazali dalam bukunya mengobati penyakit hati mengatakan bahwa al-qalb merupakan tempat hikmah, ma’rifat dan cinta kepada Allah. Sehubungan dengan itu ada beberapa upaya untuk menjaga qalb tetap bersih dan terhindar dari fitnah serta untuk mengetahui celah diri adalah sebagai berikut:
1.Kunjungi guru yang dipandang mempunyai pengetahuan luas tentang aib diri.
2.Carilah seorang teman yang jujur, baik akhlaknya dan bijaksana dan taat bergama.
3.hendaklah seseorang ini dapat mengambil manfaat dari celah jiwanya yang berasal dari mulut musuh-musuhnya.
4.mencemplungkan diri kedalam pergaulan masyarakat untuk bergaul dengan orang banyak.
C.KEPRIBADIAN MUTMAINNAH
Kepribadian muthmainnah adalah kepribadian yang telah diberikan kesempurnaan nur qalb, sehingga dapat meninggalkan sifat-sifat tercela dan tumbuh sifat-sifat yang baik. Kepribadian ini selalu berorientasi kekomponen qalb untuk mendapatkan kesucian dan menghilangkan segala kotoran sehingga dirnya menjadi tenang.
Kepribadian muthmainah bersumber dari qalb manusia, sebab hanya qalb yang mampu merasakan thuma’ninnah. Sebagai komponen yang bernatur Ilahiyyah, qalb selalu cenderung pada ketenangan dalam beribadah, menyintai, bertaubat, bertawakal dan mencari Ridha Allah SWT. Orientasi kepribadian ini adalah teosentirs (QS. Al-Nazi’at: 40-41).
Kepribadian mutmainnah merupakan kepribadian atas sadar atau supra – kesadaran manusia. Dikatakan demikian sebab kepribadian ini merasa tenang dalam menerima keyakinan fitrah. Keyakinan fitrah adalah keyakinan yang dihujamkan pada ruh manusia (fitrah al-munazzalah) dialam arwah dan kemudian dilegitimasi oleh wahyu Illahi. Penerimaan ini tidak bimbang apalagi ragu-ragu seperti yang dialami oleh kepribadian lawwamah, tetapi penuh keyakinan. Oleh sebab itu ia terbiasa menggunakan metode zawq (cita rasa) dan ‘aina al-bashirah (mata batin) dalam menerima sesuatu sehingga ia merasa yakin dan tenang.
Al-ghazali menyatakan bahwa daya qalb (yang mendominasi kepribadian mutmainnah) mampu mencapai pengetahuan (ma’rifah) melalui daya cita rasa dan kasyf (terbukanya tabir misteri yang menghalangi penglihatan penglihatan batin manusia). Sedangkan Ibnu Khaldun menyatakan dalam “mukadimmah” bahwa ruh qalb itu disinggahi oleh ruh akal. Ruh akal secara subtansial mampu mengetahui apa saja di alam amar, sebab ia berpotensi demikian. Ia kadang-kadang tidak mampu mencapai pengetahuan itu disebabkan adanya penghalang (hijab), di badan dan indera. Apabila penghalang itu hilang maka ia mampu menembus pengetahuan tersebut.
Dengan kekuatan dan kesucian daya qalb maka manusia mampu memperoleh pengetahuan, wahyu dan ilham dari Tuhan. Wahyu diberikan pada para nabi, sedang ilham diberikan pada manusia suci biasa. Kebenaran pengetahuan ini bersifat supra-rasional, sehingga bisa jadi ia tidak mampu diterima oleh akal. Pengetahuan yang dapat ditangkap oleh akal seharusnya dapat pula dapat ditangkap oleh qalb, sebab qalb sebagian dayanya digunakan untuk berakal. Namun sebaliknya, pengetahuan yang diterima oleh qalb belum tentu dapat diterima oleh akal, sebab kemampuan kemampuan akal (otak) di bawahnya.
Kepribadian mutmainnah berbentuk enam kompetensi keimanan, lima kompetensi keislaman, dan multi kompetensi keihsanan. Aktualisasi bentuk-bentuk ini dimotivasi oleh energi psikis yang disebut dengan amanah yang dihujamkan oeh Allah SWT. Di alam arwah (ruh al munazzalah). Realisasi amanah selain berfungsi memenuhi kebutuhan juga melaksanakn kewajiban jiwa. Dikatakan kebutuhan sebab jika tidak direalisasikan maka mengakibatkan kecemasan, kegelisahan dan ketegangan, dan dikatakan kewajiban sebab pelaksanaannya telah diatur sedemikian rupa oleh Tuhan.
D.HAKEKAT FITRAH DAN CITRA MANUSIA DALAM PSIKOLOGI ISLAM
Fitrah diungkap dalam al-qur’an sebanyak 20 kali yang terdapat didalam 17 surat. Diantara yang memuat kata fitrah adalah QS. Ar-Rum ayat 30:
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لا يَعْلَمُونَ
Artinya “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” (Qs Ar-rum : 30)
Firman tersebut menunjukan bahwa manusia diciptakan oleh Allah SWT menurut fitrahnya. Fitrah ini merupakan citra manusia yang penciptaannya tidak ada perubahan, maka eksistensi manusia menjadi hilang. Keajegan fitrah sebagai pertanda agama yang lurus, walaupun hal itu tidak diketahui oleh kebanyakan manusia. Oleh karena itu, untuk mengetahui citra manusia maka dapat ditelusuri hakekat fitrah.
1.Makna Fitrah
Dalam literatur Islam, istilah fitrah meiliki makna yang beragam. Hal itu disebabkan oleh pemilihan sudut makna. Fitrah dapat dimakanai secara etimologi (basic meaning), terminologi, bahkan makna nasabah (relation meaning). Masing-masing makna tersebut memiliki implikasi psikologis.
Secara etimologi fitrah berarti “terbukanya sesuatu dan melahirkannya” seperti orang yang berbuka puasa. Dari makna dasar tersebut maka berkembang menjadi dua makna pokok. Pertama, fitrah berarti al-insyiqaq atau al-syaqq Iyang berarti al-inkisar (pecah belah). Kedua, fitrah berarti al-khilqah, al-ijad, atau al-ibda’ (penciptaan).
Kedua makna tersebut sebenarnya saling melengkapi. Manusia merupakan mikro kosmos (alam kecil), sedangkan kosmos adalah manusia makro. Manusia merupakan miniatur alam yang kompleks. Fisiknya menggambarkan alam fisikal, sedangkan psikisnya menggambarkan alam kejiwaaan.
Secara nasabi fitrah memiliki beberapa makna: (1). Fitrah berarti suci (al-thuhr), hal ini didasarkan atas hadis Nabi yang artinya “ setiap anak itu dilahirkan dalam kondisi fitrah (suci), maka kedua orang tuanya yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, Majusi, atau Musyrik” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah).
Maksud suci disini bukan berarti kosong atau netral (tidak memiliki kecenderungan baik - buruk ) sebagaimana yang diteorikan oleh Jhon Locke atau Psiko-Behavioristik, melainkan kesucian psikis yang terbebas dari dosa warisan dan penyakit rohani.
(2). Fitrah berarti potensi berislam. Peranan semacam ini dikemukakan oleh Abu Hurairah bahwa fitrah berarti beragama islam. Pemaknaan tersebut menunjukan bahwa tujuan penciptaan manusia adalah penyerahan kepada yang mutlak (ber-Islam).
(3). Fitrah berarti mengakui ke-Esaan Allah. Manusia lahir dengan membawa potensi tauhid, atau paling tidak ia berkecenderungan untuk mengesakan Tuhan, dan berusaha secara terus menerus untuk mencari dan mencapai ketauhidan tersebut.
(4). Fitrah berarti kondisi selamat (al-salamah) dan kontinutas (al-istiqamah). Pemaknaan ini dikemukakan oleh Abu Umar ibn ‘Abd al-Bar, dalam hadist Qudsi dinyatakan “sesungguhnya Aku (Allah) menciptakan hamba-hamba-Ku dalam keadaan hanif (kontinue dan selamat). Maka syaitanlah yang menarik kepada keburukan.” (HR. Ahmad ibn Hambal dari ‘Iyadh ibn Humair). Menurut ‘Abd al-Bar, fitrah secara aktual tidak mengandung iman dan kufur, juga tidak mengenal Allah atau mengingkari-Nya. Fitrah secara potensial berarti keselamatan dalam proses penciptaan, watak, dan strukturnya. Iman dan kufurnya baru tumbuh setelah manusia mencapai akil baligh, sebab ketika masih bayi atau anak-anak, mereka belum mampu berfikir, apalagi menerima keberadaan Tuhan.
(5) fitrah berarti perasaan yang tulus (al-Ikhlas). Manusia lahir dengan membawa sifat baik. Diantara sifat itu adalah ketulusan dan kemurnian dalam melakukan aktivitas. Pemaknaan tulus ini merupakan konsekuensi fitrah manusia yang harus berpotensi Islam dan Tauhid. Sebab dengan berislam berarti seseorang telah menghambakan diri kepada Zat yang Mutlak, yaitu Allah SWT, dan menghilangkan segala sesuatu yang temporal dan nisbi.
(6). Fitrah berarti kesanggupan atau predisposisi untuk menerima kebenaran. Secara fitri manusia lahir cenderung berusaha mencari dan menerima kebenaran, walaupun pencarian itu masih tersembunyi dalam qalb yang paling dalam. (7). Fitrah berarti potensi dasar manusia atau perusahaan untuk beribadah dan makrifat kepada Allah. (8). Fitrah berarti ketetapan atau takdir asal manusia mengeani kebahagian dan kesengsaraan hidup. (9). Fitrah berarti tabiat atau watak asli manusia. (10). Fitrah berarti sifat-sifat Allah SWT yang ditiupkan pada setiap manusia sebelum dilahirkan. Dan (11). Fitrah dalam beberapa hadist memiliki arti takdir atau status anak yang dilahirkan.
Berdasarkan makna etimologi dan nasabi maka daopat disimpulkan bahwa secara terminologi “ fitrah adalah citra asli yang dinamis, yang terdapat pada sistem-sistem psikofisik manusia dan dapat diaktualisasikan dalam bentuk tingkah laku. Citra unik tersebut telah ada sejak awal penciptaannya.
2.Fitrah dan Citra Manusia sebuah Implikasi Psikologis
Konsep fitrah sebagaimana tergambar diatas menunjukan citra unik manusia yang menjadi landasan bagi konstruk psikologi Islam. Islam secara empris – eksperimental belum memiliki teori-teori psikologis yang mapan. Meskipun demikian tidak berarti bangunan psikologi Islam mengadopsi dari teori-teori psikologi kontemporer, sebab secara spekulatif kedua pendekatan itu memiliki kerangka filosofis yang berbeda tentang hakekat manusia. Citra unik manusia dalam Psikologi Islam dapat disederhanakan dalam beberapa point berikut ini.
(1). Manusia dilahirkan dengan citra yang baik, seperti membawa potensi suci, ber-Islam, ber-Tauhid, Ikhlas, mampu memikul amanah Allah SWT untuk menjadi Khalifah dan hamba-Nya di muka bumi, dan memiliki potensi dan daya pilih. Potensi baik tersebut perlu diaktualisasikan dalam tingkah laku yang nyata. Citra baik tersebut pada mulanya disangsikan oleh malaikat dan iblis, namun setelah Allah SWT menyakinkannya maka malaikat percaya akan kemampuan manusia, sementara iblis dengan kesombongannya tetap mengingkarinya.
(2). Selain jasad, manusia memiliki ruh yang berasal dari Tuhan. Ruh menjadi esensi kehidupan manusia. Melalui fitrah ruhani maka (a). Hakekat manusia tidak hanya dilihat dari aspek biologis namun juga dari aspek ruhaniah. (b). Kebutuhan ruh yang utama adalah agama, yang teraktualisasikan dalam bentuk ibadah. (c). Periode kehidupan manusia bukan hanya diawali dari pra-natal sampai kematian, tetapi jauh sebelum dan sesudahnya masih terdapat alam lagi, yaitu alam perjanjian (pra kehidupan dunia), alam dunia, dan alam akhirat (pasca kehidupan dunia). Semua kehidupan manusia tidak akan sia-sia.
(3). Melalui fitrah nafsani (psikofisik) dalam psikologi Islam, maka (a) pusat tingkah laku adalah qalb, bukan otak atau jasmani manusia. (b). Manusia dapat memperoleh pengetahuan tanpa diusahakan, seperti pengetahuan intuitif dalam bentuk Wahyu dan Ilham; (3). Tingkat kepribadian manusia tidak hanya sampai pada humanitas atau sosialitas, tetapi sampai kepada berketuhanan. Tuhan merupakan asal dan tujuan dari segala realitas.
E. QALB SEBAGAI PUSAT GARAPAN PENDIDIKAN ISLAM
Tolak ukur pendidikan Islam adalah iman dan titik tolak yang benar adalah pemusatan pada qalb, sehingga qalb itu emnjadi sehat dan baik, sebab proses pendidikan semacam ini sangat aman dan tenang dalam mendudukan manusia menjadi manusia, dan sangat aman untuk meletakan dan mengeluarkan manusia dari wilayah bujukan , gangguan, dan fitnah syaitan, baik syaitan yang berbentuk jin ataupun manusia. Allah SWT. Berfirman dalam QS Al-An’am:112-113;
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيَاطِينَ الإنْسِ وَالْجِنِّ يُوحِي بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُورًا وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ مَا فَعَلُوهُ فَذَرْهُمْ وَمَا يَفْتَرُونَ
وَلِتَصْغَى إِلَيْهِ أَفْئِدَةُ الَّذِينَ لا يُؤْمِنُونَ بِالآخِرَةِ وَلِيَرْضَوْهُ وَلِيَقْتَرِفُوا مَا هُمْ مُقْتَرِفُونَ
Artinya : “Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan (dan jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). Jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan. Dan (juga) agar hati kecil orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat cenderung kepada bisikan itu, mereka merasa senang kepadanya dan supaya mereka mengerjakan apa yang mereka (syaitan) kerjakan. “
Dari ayat ini diketahui bahwa qalb yang cenderung kepada syaitan yang berbentuk manusia dan jin, dan qalb yang suka pada godaan dan gangguannya adalah manusia yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat. Itulah sebabnya, jika kita hendak mengeluarkan manusia dari wilayah gangguan syaitan, kita wajib memulai dari perbaikan al-qalb.
Dari uraian di atas tampak bahwa titik tolak yang benar dan sasaran utama pendidikan Islam adalah Qalb hati), agar qalb itu mampu mencapai kondisi yang sehat. Kegagalan dalam hal ini sama dengan kegagalan dalam membentuk pribadi Muslim hakiki yang setia dan konsisten terhadap perintah-perintah Allah dan Agamanya.
Kegagalan proses kerja al-Qalb dapat melahirkan semacam penyakit psikis, atau bahkan – secara tidak tertahankan biasa melahirkan semacam kelompok separatis ekstremis (ghulat). Disamping itu akan melahirkan pula sekelompok manusia fasik, munafik, pendusta dan murtad. Tak ada lagi hati yang selamat sehingga kerusakan duniawi dan ukhrawi meluas dan merajalela.
Setiap Muslim haruslah memiliki semangat dan ketekunan yang kontinue untuk dapat sampai dan memperoleh hati yang bening, bersih, dan selamat. Sebenarnya manusia dihadapkan pada dua alternatif: perhatian qalbnya secara total terpusat kepada perjalanan ruhaniahnya, atau terarah pada banyak hal.
Qalb dalam kondisi lemah iman, kurang bercahaya, atau dalam kondisi sakit dan keras, dapat dengan mudah dikalahkan oleh hawa nafsu. Ia menyerah di hadapan nafsu birahi dan menyerah di hadapan penyakit-penyakit lainnya. Sifat sombong mengarahkan qalb dan jiwanya, sifat hasud menyetir qalb kemudian jiwanya, begitulah seterusnya.
Semakin jelas bahwa titik tolak yang benar dalam pendidikan Islam adalah pemusatan program pada perbaikan Qalb. Karena tahap pertama yang menjadi pusat perhatian dan kerja para sufi adalah program-program yang berkaitan dengan masalah qalb.
III. K E S I M P U L A N
Dari penjelasan yang telah dipaparkan diatas dapat disimpulkan bahwa:
1.Secara teoritis arti al-qalb adalah hati, dimana kondisi hati menurut M. Quraish Shihab, selalu bolak-balik. Tetapi disamping makna seperti itu ada banyak makna yang identik dan semakna dengan pengertian al-qalb, seperti: (1). As-Sadr yaitu tempat perasaan was-was: (2) Al-qalb merupakan tempat iman: (3). Asy-Syaghaf yaitu tempat cinta: (4). Al-fuad, yang dapat memelihara kebenaran: (5) Habat al-qalb, yaitu tempat cinta dan kebenaran: (6). As-suwidah, yaitu tempat ilmu dan agama: (7). Mahajah al-qalb, yang merupakan manifestasi sifat-sifat Allah: (8). Al-damir, yang merupakan tempat merasa dan daya rekoleksi (al-quwwah al-latifah) dan (9). As.sirr, sebagai bagian qalb yang palinh halus dan rahasia.
2.Karakteristik dan peranan al-qalb meliputi : Pertama, dari sudut fungsi al-qalb memiliki sedikitnya tiga fungsi sebagai berikut: (1) fungsi kognisi yang menimbulkan daya cipta; seperti berfikir (aql), memahami (fiqih), mengetahui (ilm), memperhatikan (dabr), mengingat (dzikr), dan melupakan (khilaf). (2). Fungsi emosi yang menimbulkan daya rasa, seperti tenang ( tama’ninah), jinak atau sayang (ulfah), senang (ya’aba), santun dan penuh kasih sayang (ra’fah wa rahmah), tunduk dan bergetar (wajilat), mengikat (ribat), kasar (glaliz), takut (ru’ub), dengki (gilun), berpaling (zayq), panas (ghaliz), sombong (hamiyah), kesan (isyma’azza), dan lain-lain. (3). Fungsi konasi yang menimbulkan daya karsa, seperti berusaha (kasb).Kedua, dari sudut kondisinya, dari sudut kondisi ini dapat dilihat dari dua bagian yaitu: qalb yang baik dan qalb yang buruk, bahkan qalb yang berada diantara qalb baik dan qalb buruk.
3.Pentingnya al-qalb dalam pendidikan islam dikarenakan al-qalb merupakn tolak ukur dari keberhasilan sistem pendidikan islam. Jadi baik-buruknya hasil pendidikan islam lebih cederung ditentukan oleh baik buruknya al-qalb peserta didik dan komponen-komponennya.
DAFTAR BACAAN
Abdul Aziz Al-Darimi “ Pembersih Kalbu “. Terj. Mudzakir AS, Bandung: Pustaka Pelajar, 2000
Abdul Mujib, M.Ag & Jusuf Mudzakir, M.Si “Nuansa-Nuansa Psikologi Islam” Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001
Al-Ghazali “ Mengobati Penyakit Hati Membentuk Akhlak Mulia”. Terj. Muhammad Al-Baqir, Bandung: Karisma, 1994.
Baharuddin “ Aktualisasi Psikologi Islami” Bandung: Pustaka pelajar, 2005
Imam Al-Ghazali “ Mengobati Penyakit Hati”. Terj. Achmad Sumanto, Jakarta: Pustaka Amani, 1989.
Sa’id Hawwa “ Jalan Ruhani (Bimbingan tasawuf Untuk Para Aktivis Islam) “. Terj. Drs. Khaerul Rafie’ M dan Ibnu Thaha Ali, Bandung: Mizan, 2001.
Jumat, 30 Januari 2009
jawaban uas IT
DEPARTEMEN AGAMA RI
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM CIREBON
PROGRAM PASCASARJANA
Jl. Perjuangan – Sunyaragi By Pass Cirebon, Telp. (0231-481264) Psw. 133
Jawaban Ujian Akhir Semester Gasal
Tahun Akademik 2008 / 2009
Nama Mahasiswa : W A R L I
N I M : 505 820 022
Mata Kuliah : Pengembangan IT Dalam Pembelajaran
Program Studi : Pendidikan Islam
Konsentrasi : Psikologi Pendidikan Islam
Semester : I (satu)
Dosen : Prof. Dr. Wahidin, M.Pd
1. Deskripsikan wilayah garapan / pokok-pokok Manajemen Sistem Informasi Pendidikan (MSIP)
JAWAB :
Pengertian sistem informasi manajemen (SIM), merupakan penerapan sistem informasi di dalam tubuh organisasi guna mendukung informasi-informasi yang dibutuhkan oleh semua tingkatan manajemen pada organisasi tersebut. SIM merupakan kumpulan dari interaksi sistem-sistem informasi yang bertanggung jawab mengumpulkan dan mengolah data sehingga tersaji informasi yang berguna bagi semua tingkatan manajemen organisasi tersebut.
Dengan demikian wilayah garapan atau pokok-pokok Manajemen Sistem Informasi Pendidikan (MSIP) adalah administrasi pendidikan itu sendiri, yang berguna untuk :
Meningkatkan kemampuan (manajerial dan administrasi pendidikan) dalam rangka standarisasi, pemantauan, evaluasi, meningkatkan kualitas, perumusan kebijakan, pengambilan keputusan dan perencanaan pendidikan, atas dasar data dan informasi yang cepat dan akurat,
Terwujudnya sistem pangkalan data dan informasi sebagai sub sistem dari SIM Pendidikan DEPDIKNAS,
Melembaganya pengelolaan Sistem Informasi Manajemen Pendidikan, sehingga terjamin adanya kesinambungan dalam pemeliharaan, pengoperasian dan pengembangan pendidikan.
2. Bagaimana proses penggunaan Manajemen Sistem Informasi Pendidikan (MSIP) dalam meningkatkan mutu layanan pendidikan ?
JAWAB :
Proses penggunaan MSIP adalah :
Data dan informasi harus dioleh kedalam satu sistem informasi, agar data dan informasi tersebut memiliki makna dan dapat membantu membuat keputusan-keputusan. Suatu organisasi harus memiliki input data dan informasi yang baik, sehingga keputusan-keputusan yang diambil sesuai dengan tujuan organisasi. Data dan informasi yang baik tidak hanya harus akurat, valid dan mencukupi/lengkap, tetapi juga harus tepat waktu pada saat dibutuhkan.
Sebagai bentuk akuntabilitas dan pencitraan publik pengelolaan pendidikan, adanya SIMP bertujuan untuk mengumpulkan, menyimpan, memproses, menganalisis, dan mempublikasikan informasi tersebut.
Salah satu hasil yang sangat penting dan strategis dari SIMP adalah dihasilkannya pemetaan sekolah secara akurat. Dengan bantuan program-program pengolah data modern dan perangkat lunak lain, pemetaan sekolah tidak hanya memetakan sekolah dari segi kualifikasi dan sebaran tetapi juga dari segi atribut atau kondisi sekolah.
Banyak pendapat mengatakan bahwa teknologi informasi merupakan salah satu senjata persaingan dalam meningkatkan mutu layanan pendidikan. Hal ini tidak perlu diragukan lagi karena saat ini teknologi informasi telah menjadi salah satu alat untuk meningkatkan efesiensi aktivitas operasional lembaga pendidikan. Hampir disetiap lembaga pendidikan telah tampak fenomena bahwa yang menjadi kriteria pilihan masyarakat saat ini adalah lembaga pendidikan yang telah memiliki perangkat teknologi informasi yang sangat memadai dalam berbagai aktivitas operasional lembaga pendidikan. Lembaga pendidikan yang mampu mengoperasionalkan manajemen sistem informasi pendidikan dengan baik akan meningkatkan mutu layanan pendidikan yang sekaligus akan menjadi lembaga pendidikan yang menjadi pilihan masyarakat.
3. Klasifikasikan kemudian deskripsikan jenis data yang biasa digunakan untuk kepentingan MSIP ?
JAWAB :
Klasifikasi dan deskripsi data :
Data dari pemerintah/birokrasi, yaitu Undang-undang, peratuaran, ketetapan/keputusan, edaran, anjuran, standar kurikulum, nomor statistik sekolah, nomor induk personil/pegawai (NIP), NUPTK (Nomor Induk Pendidik dan Tenaga Kependidikan), hasil monitoring/supervisi/audit,reward/bantuan/blok grant, standart-standart, penilaian/akreditasi, dan lain-lain.
Data pada sekolah/organisasi, yaitu data siswa, personil (guru dan staf administrasi), keuangan, komite/organisasi sekolah, barang-barang inventaris/perlengkapan (barang tidak bergerak, tanah dan bangunan; barang-barang bergerak ; perabot, peralatan-peralatan teknis). Barang-barang non inventaris (habis pakai), bukti kerja sama/MoU, prestasi, pengembangan kurikulum dan silabus, tata tertib, perencanaan/strategi, keputusan/ketetapan intern, dan lain-lain.
Kedua kelompok data tersebut merupakan data hidup (bertambah atau berkurang/berubah) harus diolah dari waktu ke waktu sehingga terjadi satu sistem informasi yang "berguna" yaitu SIMP pada organisasi tersebut, yang akan memudahkan pula dalam pengendalian/evaluasi dan diakses oleh pihak-pihak yang membutuhkan/stakeholders
4.Deskripsikan fungsi manajeman sistem informasi dalam konteks :
JAWAB :
Manajemen Data. Data adalah fakta-fakta mentah atau deskripsi-deskripsi dasar dari hal-hal, event, aktivitas, dan transaksi yang ditangkap, direkam, disimpan, diklasifikasikan, diorganisasikan, pada gilirannya akan mampu menghasilkan informasi yang bermakna.
Monitoring. SIM merupakan "darah" yang mengalir dalam tubuh organisasi, berbekal Sistem Informasi Manajemen (SIM) yang akurat dan konferhensif, akan memudahkan menejer atau pihak lain/stakeholders melakukan monitoring setiap waktu atau pada saat yang diperlukan.
Pengambilan Keputusan. Sistem informasi mampu menyediakan informasi kepada manajer yang harus membuat keputusan dalam situasi-situasi tertentu, mendukung pengambil keputusan dalam situasi yang tidak terstruktur dengan baik. Sistem ini disebut Decision Support System (DSS).
Evaluasi dan Penilaian. Suatu organisasi yang mampu menyajikan sistem informasi yang memiliki makna, lengkap, akurat, akuntabel, akan mampu untuk dievaluasi/penilaian oleh organisasi sendiri (evaluasi diri), maupun oleh pihak-pihak lain/stekholders.
Pengontrol Kualitas. sebagaimana dikemukakan di atas, bahwa garapan utama manajemen sistem informasi pendidikan adalah administrasi pendidikan itu sendiri, bila sekolah mampu memiliki sistem informasi yang handal, tentu akan mampu diimplementasikan terhadap pengontrol/pengendalian kualitas sekolah tersebut, karena Sistem Informasi Manajemen (SIM) diadakan dalam rangka standarisasi, pemantauan, evalusi, meningkatkan kualitas perumusan kebijakan, pengambilan keputusan, dan perencanaan atas dasar sistem informasi yang akurat dan komprehensif.
Meningkatkan Daya Kompetensi. Ciri informasi yang berguna adalah akurat, lengkap, fleksibel, dapat dipercaya, berhubungan, mudah diakses, berdasarkan fakta, tepat waktu, dan tidak terkontaminasi. Disamping itu mudah dalam penyimpanan, pengambilan, analisis dan sharing data, sehingga organisasi tersebut akan mampu meningkatkan kompetensi dalam hal : berkomunikasi lebih cepat dan mudah, dapat memperluas kewenangan dan pengembangan organisasi, kemampuan dalam perencanaan dan pengambilan keputusan,
Pengembangan Kelembagaan (Misalnya Sekolah) : Sistem Informasi Manajemen (SIM) dapat memberikan peningkatan pelayanan kepada siswa dan orang tua siswa/stekholders, misalnya penyajian informasi tentang kemajuan belajar siswa secara cepat dan akurat. Semakin cepat informasi sampai kepada orang tua siswa/stekholders akan mempercepat perbaikan/pengendalian mutu pembelajaran dan mutu sekolah. Sistem Informasi Manajemen sebagai modal untuk bersaing secara profesional dan sehat dengan sekolah lain dalam upaya pengembangan sekolah.
Mengefektifkan Sumber Daya Manusia dan Sumber Daya Lainnya. Mengoptimalisasikan proses-proses pengolahan data dan tugas-tugas yang dikerjakan secara manual, meningkatkan efektivitas dan efesiensi sumber daya manusia yang bekerja dalam kelompok, dalam suatu tempat atau beberapa lokasi.
Menyederhanakan Birokrasi. Sistem Informasi Manajemen (SIM), menyediakan komunikasi dalam/antar organisasi dengan cepat, SIM menyimpan informasi yang mudah diakses dengan prosedur yang simpel, SIM menyediakan fasilitas pengaksesan informasi yang sangat banyak diseluruh dunia dengan cepat dan mudah tanpa ada aturan harus melalui birokrasi tertentu.
Meningkatkan Efesiensi. Meningkatkan efesiensi sekaligus efektivitas, menyajikan informasi dengan jelas, mampu mengurangi beban kerja, mempercepat pekerjaan/pengetikan dan editing, pembiayaan menjadi lebih murah.
Membuat Perencanaan. Perencanaan yang baik tentang pengembangan/peningkatan ketika akan memulai sesuatu yang baru harus didukung/didahului oleh adanya data dan informasi, selain dari fenomena empirik dan renungan serta refleksi, semakin komprehensifnya informasi maka semakin baiklah perencanaan yang dibuat.
Umpan Balik. Dapat meningkatkan kreativitas, baik penyedia layanan sistem informasi dengan pengguna karena bisa mendapatkan feed back dari pengguna sistem informasi dengan lebih cepat. Adanya hubungan dua arah dari penyedia layanan manajemen informasi dengan pengguna informasi karena informasi akan lebih terintegrasi pada layanan menajemen informasi khususnya yang akan dijadikan pijakan dalam pengambilan keputusan.
5. Berikan penjelasan perbedaan manajemen sistem informasi pendidikan konvensional dengan berbasis komputer (modern), dalam kontek planning, actuating,innovating, organizing, staffing, controlling, representing, coordinating?
JAWAB :
terlebih dahulu akan dijelaskan pengertian fungsi-fungsi manajemen :
1.Planning adalah : Perencanaan
2.Actuating adalah : action/realisasi kerja
3.Directing adalah :Pengarahan
4.Innovating adalah Peningkatan Perbaikan/inovasi
5.Organizing adalah : Pengorganisasian
6.Staffing adalah : Manajemen Kepegawaian, menyangkut deskripsi jabatan/keahlian,fungsi, wewenang dan tanggung jawab.
7.Controlling adalah : Pengendalian
8.Representing adalah : Sumbangan dengan tugas pimpinan antara lain, menghadiri/memimpin rapat, melakukan perjalanan, melakukan kontrak/hubungan dengan pihak lain.
9.Coordinating adalah : Koordinasi/hubungan.
Perbedaan Manajemen Sistem Informasi Pendidikan antara model yang konvensional dengan yang berbasis komputer/modern adalah :
Model Konvensional, adalah sistem informasi yang dikerjakan secara manual. Bila dikaitkan dengan situasi sekarang dimana kemajuan teknologi informasi dan komunikasi demikian dahsyat, maka kondisi dan kemampuan Manajemen Sistem Informasi Pendidikan model konvensional adalah kebalikan dari model modern, sehingga fungsi-fungsi manajemen seperti planning, actuating, directing, innovating, staffing, controlling, refresenting, dan coordinating tidak akan semudah,sepraktis, seefektif dan seefesien pada penerapan model modern/berbasis komputer.
Model Berbasis Komputer (Modern). MSIP berbasis komputer atau Computer Based Information System (CBIS) adalah sebuah sistem informasi yang menggunakan komputer dan teknologi telekomunikasi untuk melakukan tugas-tugas yang dikehendaki sehingga mampu melaksanakan komputasi numerik, bervolume besar, dengan kecepatan tinggi, menyediakan komunikasi dalam satu sekolah atau antar sekolah yang murah, akurat dan cepat, seperti :
1.Menyimpan informasi dalam jumlah yang sangat besar dalam ruang yang kecil tetapi mudah diakses
2.Melakukan pengaksesan informasi yang sangat banyak diseluruh dunia dengan cepat dan murah
3.Meningkatkan efektivitas dan efesiensi pekerjaan
4.Menyajikan informasi dengan jelas dan menggunakan pikiran
5.Mengotomatiskan proses-proses pekerjaan, mempercepat pengetikan dan penyuntimngan
6.Melaksanakan hal-hal tersebut di atas jauh lebih mudah bila dibandingkan secara manual.
Dengan demikian fungsi-fungsi manajemen pada lembaga pendidikan dapat berjalan dengan lancar, cepat, normal, akuntabel, akurat, memenuhi standarisasi dan relatif murah.
Berikut adalah infrastruktur dan arsitektur informasi model CBIS. Infrastruktur informasi terdiri dari fasilitas-fasilitas fisik, layanan dan manajemen yang mendukung semua sumber daya komputer dalam suatu lembaga/organisasi. Terdapat 5 komponen utama dari infrastruktur dimaksud, yaitu :
1.Perangkat keras (hardware)
2.Perangkat lunak (software)
3.Fasilitas jaringan dan komunikasi (Networks and communication facilities) termasuk internet.
4.Basis data (data base)
Informasi Manajemen Personal (Personalia Management Information) arsitektur informasi berbeda dengan arsitektur komputer yang menggambarkan kebutuhan perangkat keras dari sistem komputer. Arsitektur informasi adalah perencanaan terhadap kebutuhan informasi yang dibutuhkan oleh lembaga/organisasi dan bagaimana proses kebutuhan-kebutuhan tersebut dapat dipenuhi. Dalam mempersiapkan arsitektur informasi perancang (designer) membutuhkan :
1.Informasi-informasi perihal pendidikan
2.Infrastruktur informasi. Informasi telah ada dan yang direncanakan sehingga mampu melengkapi informasi dalam rangka terus eksis berada dalam lingkungan sistem informasi pendidikan.
6. Untuk soal no. 6, silakan pilih salah satu!
Salah satu contoh penerapan manajemen sistem informasi pendidikan di sekolah adalah e-learning. Buatlah contoh sederhana penerapan program e-learning di sekolah dalam hal :
1.Pembelajaran berpusat pada siswa (Student Centred Learning) atau SCL
2.Pengembangan Perpustakaan Digital (Digital Library)
3.Pengembangan Sumber Daya Guru atau Pegawai
JAWAB :
Salah satu konsep/bentuk pengembangan perpustakaan digital (digital Library) adalah :
Penerapan teknologi informasi digunakan sebagai sistem informasi manajemen perpustakaan. Bidang pekerjaan yang diintegrasikan dengan sistem tersebut adalah pengadaan, inventarisasi, katalogisasi, sirkulasi bahan pustaka, pengelolaan anggota, statistik dan lain sebagainya. Fungsi ini sering diistilahkan sebagai bentuk automasi perpustakaan
Penerapan teknologi informasi sebagai sarana untuk menyimpan, mendapatkan dan menyebarluaskan informasi ilmu pengetahuan dalam format digital. Cakupannnya antara lain : Pengadaan koleksi, katalogisasi, inventarisasi, sirkulasi, reserve, inter-library loan
Pengelolaan penerbitan berkala
Penyediaan penerbitan berkala
Penyediaan katalog (OPAC) dan
Pengelolaan anggota
Penyedia teknologi informasi yang digunakan dalam layanan informasi referensi dikembangkan dengan menyediakan koleksi dalam bentuk digital yang dikemas dalam bentuk CD-ROM dan akses informasi ke jaringan luar (LAN, WAN, dan Internet).
Adapun peranan dari masing-masing layanan teknologi informasi adalah :
Peran CD-ROM :
1.Mempercepat akses informasi multi media, baik itu berupa abstrak, indeks, maupun bahan full texs, dalam bentuk digital tanpa mengadakan hubungan ke komputer
2.Media back up/cadangan data perpustakaan dan sarana koleksi referensi bagi perpustakaan lain.
Peran Internet :
1.Untuk mengakses informasi multimedia dalam resource internet
2.Sarana telekomunikasi dan distribusi informasi
3.Untuk membuat homepage, penyebarluasan katalog dan informasi
Langganan:
Postingan (Atom)