Mewujudkan Demokratisasi Pendidikan Islam
A. Ngawiti
Demokrasi tampaknya telah menjadi istilah penting sekaligus menjadi tuntutan sosio-politik warga bangsa di dunia. Tak heran jika terma ini menjadi issue paling populer sejak beberapa waktu terakhir. Jauh sebelum dibukanya kran global di bidang ekonomi yang kemudian berdampak pada semangat keterbukaan berbagai bidang lain, istilah dan praktik demokrasi sebenarnya sudah populer dan sejak beberapa waktu terakhir makin mengemuka. Praktik demokrasi pada dasarnya bertumpu pada pelibatan publik untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan-keputusan politik, baik di internal sebuah bangsa maupun kawasan internasional, termasuk di tingkat nasional maupun regional dan lokal
Meski pada awalnya digunakan dan akrab dengan terma politik, namun seiring dinamika publik dan terbukanya era postmodernisme, istilah tersebut kemudian mengilhami pula berbagai bidang lain, seperti bidang sosial, ekonomi, budaya dan agama, termasuk pendidikan. Dalam konteks pendidikan, penerapan prinsip-prinsip demokrasi telah menjadi tuntutan sejalan dengan tumbuhnya kesadaran para pengelola lembaga pendidikan di negara-negara maju dan negara sedang berkembang untuk mengimplementasikan prinsip-prinsip keterbukaan, orientasi pelayanan serta dinamisasi dan adaptasi penyelenggaraan pendidikan dalam merespon berbagai perubahan yang mengitarinya.
Di Indonesia, tuntutan untuk menerapkan prinsip-prinsip demokrasi dalam praktik penyelenggaraan pendidikan muncul seiring dengan arus reformasi tahun 1998 yang ditandai dengan tumbangnya H.M. Soeharto dari singgasana kepemimpinan nasional yang didudukinya selama lebih dari 32. Peristiwa ini ternyata membawa angin segar bagi perubahan berbagai tatanan kehidupan di negeri Jamrud Khatulistiwa ini, termasuk pada bidang pendidikan. Jika awalnya ditujukan untuk melakukan perbaikan tatanan di bidang politik dalam bentuk suksesi kepemimpinan nasional, pengaruh reformasi pun kemudian menjalar ke bidang pendidikan. Pemerintah pun sejak tahun 1999 mengeluarkan berbagai kebijakan yang reformatif untuk melakukan perubahan di sektor ini.
UU Nomor 22/1999 dan UU 20/2003 menjadi dua energi positif bagi perubahan arah kebijakan pendidikan yang bertumpu pada paradigma otonomisasi dan demokratisasi. Ini sejalan dengan refleksi pemikiran dan kebijakan untuk melakukan peningkatan mutu proses dan hasil belajar sekaligus memperbesar kemampuan pendidikan untuk responsif dan adaptif terhadap perubahan. Pendidikan di Indonesia, menurut Dede Rosyada , pada akhir abad ke20 dan awal abad ke-21 tengah menghadapi dua masalah besar sekaligus, baik internal maupun eksternal. Pada sisi internal, masalah rendahnya mutu masih menghinggapi dunia pendidikan sehingga pemerintah kemudian melakukan peningkatan mutu pendidikan melalui berbagai penataan dan restrukturisasi strategi pengembangan yang jauh lebih tepat, akurat dan akseleratif. Sementara era global yang menjadi tantangan bagi dunia pendidikan merupakan persoalan eksternal yang dihadapi bidang ini.
Pada era orde baru, kebijakan pendidikan dilakukan secara sentralistik dan semua kewenangannya berada di tangan pemerintah pusat seperti diatur UU Nomor 2/1989. Semuanya serba bernuansa pusat, kurikulum diatur pemerintah pusat, dana diatur ”penguasa” di tingkat pusat, demikian juga model belajar, rekrutmen pegawai, pengadaan sarana pendidikan dan sebagainya dikelola para dedengkot republik di ibu kota negara di Jakarta. Bahkan, evaluasi belajar pun diatur pemerintah pusat, seperti tercermin pada model Ebtanas, bahkan itu juga masih berpengaruh pada era reformasi melalui penyelenggaraan Ujian Akhir Nasional (UAN) dan Ujian Nasional (UN)
Semangat reformasi kemudian membawa perubahan yang radikal bahkan revolusioner di dunia pendidikan. Paradigma ”serba pusat” dan pengelolaan pendidikan yang tersentral itu kemudian diubah. Desentralisasi kewenangan –bukan pemindahan kekuasaan—dari pemerintah pusat seiring dengan semangat otonomi daerah (otda) juga mengakomodir riak-riak di daerah yang menghendaki agar bidang ini diotonomikan.
UU 22/1999 menempatkan pendidikan sebagai salah satu sektor yang diotonomisasikan bersama-sama dengan bidang-bidang pembangunan berbasis kedaerahan lainnya seperti pertanian, kehutanan, pariwisata, koperasi dan sektor lainnya kepada pemerintah di daerah. Otonomi pendidikan pun kemudian didorong pada tingkat sekolah dengan harapan agar kepala sekolah, guru dan komponen kependidikan lain di sekolah diberi kewenangan penuh sekaligus bertanggung jawab meningkatkan kualitas proses dan hasil belajarnya, sementara pemerintah daerah hanya bertindak selaku fasilitator bagi pemenuhan berbagai kebutuhan pendidikan seperti sarana dan prasarana, ketengaan serta kebutuhan berbagai program lain yang direncanakan sekolah.
Sementara itu, terbitnya UU 20/2003 memunculkan semangat baru dalam mewujudkan demokratisasi di sektor ini melalui upaya memperbesar partisipasi masyarakat dan pelibatan siswa dalam proses pembelajaran. Masyarakat tidak hanya dituntut memberikan retribusi uang sumbangan pendidikan kepada sekolah, tapi juga diberi ruang untuk terlibat aktif dalam pembahasan dan kajian dalam mengidentifikasi berbagai permintaan stakeholders dan user sekolah mengenai kompetensi siswa yang akan dihasilkannya. Pemberian peluang ini ditujukan agar masyarakat turut memperkaya substansi kurikulum serta menuntut kreativitas dan dinamika pengelolaan sekolah agar dapat melayani permintaan-permintaan tersebut dengan tetap berpijak pada perkembangan psikologis dan kemampuan siswa serta kesanggupan sekolah dalam memberikan pelayanan kepada ”klien”-nya. Sedangkan siswa diarahkan untuk aktif dalam proses pembelajaran dan diberi kesempatan untuk menentukan aktivitas belajar yang mereka lakukan bersama-sama dengan guru mereka. Hal ini diharapkan akan membuat suasana belajar menjadi menyenangkan, dinamis dan penuh keceriaan karena aspiratif dan sesuai permintaan siswa .
Masalah demokratisasi dan otonomisasi pendidikan itu mendapat perhatian demikian besar dari pemerintah, pengelola sekolah dan berbagai pihak lain yang terkait dengan penyelenggaraan pendidikan persekolahan. Semangat reformasi dalam pendidikan di tanah air itu kemudian diarahkan pada tuntutan baru agar pendidikan bisa diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan. Ini terkait dengan bagaimana pihak sekolah mampu bermitra secara positif dengan masyarakat selaku stakeholders dan user pendidikan, termasuk memaksimalkan potensi dan partisipasi siswa dalam proses belajar yang diselenggarakannya.
Pendidikan Islam --khususnya yang formal seperti terimplementasi pada penyelenggaraan pendidikan di Madrasah Ibtidaiyyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs)), Madrasah Aliyah (MA) maupun Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) mau tidak mau harus menjadikan dua semangat tersebut sebagai inspirasi dalam penyelenggaraan pendidikannya. Karena madrasah dan PTAI merupakan jalur pendidikan formal yang menjadi bagian Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Ini pula yang menurut Malik Fadjar merupakan keunggulan Sisdiknas yang demikian akomodatif dalam mengintegrasikan pranata-pranata pendidikan yang beragam ke dalam bangunan sistemik pendidikan nasional.
Pada dasarnya, menurut Haidar Putra Daulay , pendidikan Islam bertujuan membentuk pribadi muslim seutuhnya, mengembangkan seluruh potensi manusia baik yang berbentuk jasmaniah maupun ruhaniyah, menumbuhsuburkan hubungan harmonis setiap pribadi dengan Allah, manusia dan alam semesta. Pengertian ini menunjukkan pada sebuah kesimpulan bahwa pendidikan Islam pada dasarnya berupaya untuk mengembangkan individu sepenuhnya beserta semua potensi yang dimilikinya.
Melalui makalah yang menggunakan model penelitian analisis deskriptif ini, penulis tidak hanya ingin mengurai demokrasi dalam perspektif dan pemaknaan penganut mazhab pemikiran modern, akan tetapi juga bermaksud melacaknya dari semangat ajaran dasar Islam sekaligus semangat dan praktik keagamaan umatnya sehingga bisa dipertautkan dengan upaya mengadaptasikan semangat tersebut dalam praktik pendidikan Islam kontemporer. Pembahasan mengenai demokrasi dan manusia dalam Islam, demokratisasi pendidikan, civil society dan pendidikan multikultural juga merupakan sub-sub tema yang akan dibahas dalam makalah ini.
B. Mengurai Makna Melacak Jejak
Demokrasi memang cukup populer sebagai terma yang sangat dekat dengan dunia barat, karena istilah ini pada zaman modern dipopulerkan bahkan dijadikan issue utama oleh para ilmuwan dan politisi di negara-negara barat. Kita mengenal umpamanya jargon demokrasi Abraham Lincoln yang demikian populer. Presiden Amerika Serikat itu memberikan batasan demokrasi dengan ungkapan Government from the people, with the people and for the poeple. Nathan Tarcov memberikan batasan makna demokrasi sebagai kekuasaan di tangan rakyat. Istilah ini jika dilacak lebih jauh ternyata berasal dari dua kata berbahasa Yunani, Demos yang berarti rakyat dan kratos yang berarti kekuasaan. Inti dari pengertian ini, menurut Tarcov, bermuara pada pelibatan rakyat terhadap berbagai kebijakan pemerintah dan keputusan publik dalam kekuasaan negara.
Meski istilah ini dipopulerkan para ilmuwan dan politisi di negara-negara barat, namun bukan berarti prinsip-prinsip demokrasi tidak bisa dilacak dari nilai-nilai ajaran Islam. Karena semangat dan praktik berdemokrasi pada dasarnya bisa ditemukan pada prinsip-prinsip ajaran Islam, baik dari al-Qur’an maupun hadits serta praktik kehidupan di zaman Nabi Muhammad SAW, Khulafaur Rasyidin, dan tradisi Sunni.
Merujuk pada sejumlah ayat al-Qur’an, nilai-nilai demokrasi itu tercermin pada sejumlah ajaran dasar Islam mengenai hal ini, antara lain melalui: Pertama, pluralisme beragama dalam surat al-Kafirun ayat 6: ”Bagiku agamaku dan bagimu agamamu”. Ayat tersebut membuktikan bahwa Islam memberikan kebebasan beragama dan mengakomodasi kelompok agama dan budaya-budaya lain. Kedua, prinsip kebebasan beragama yang tercermin dalam Surat al-Baqarah ayat 256: "Tidak ada paksaan dalam memeluk (agama) Islam..." Ketiga, Surat asy-Syura ayat 36: “Dan orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka diputuskan dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka.”
Musyawarah menurut beberapa literatur penting cukup menonjol dikaitkan dengan pembahasan mengenai prinsip-prinsip Islam mengenai demokrasi. Kata ini merupakan bentuk masdar dari kata “syawara” yang secara etimologis memiliki beragam arti, antara lain memeras madu dari sarang lebah, memelihara tubuh binatang ternak saat membelinya, menampilkan diri dalam perang serta meminta pendapat dan mencari kebenaran . Arti yang disebutkan terakhir merupakan makna yang sering digunakan dalam mengartikan kata “Syawara”. Sementara secara terminologis, Arif Khalil mendefinisikan makna syura dengan batasan “memunculkan pendapat-pendapat dari orang-orang yang berkompeten untuk sampai pada kesimpulan yang paling tepat.” Praktik musyawarah dalam prinsip ajaran dan praktik sosial-keagamaan umat Islam yang ditujukan untuk mencapai kemufakatan.
Dengan merujuk pada Surat Asy-Syura ayat 36, jelaslah bahwa Islam telah memosisikan musyawarah sebagai pilar demokrasi pada tempat yang istimewa. Pemosisian musyawarah pada kedudukan yang istimewa itu terepresentasi dari penyebutan syura dalam Q.S. asy-Syura ayat 36 secara berdampingan dengan shalat sebagai satu ibadah fardhu ‘ain.
Prinsip musyawarah yang bertumpu pada pelibatan banyak orang untuk menentukan sebuah keputusan atau mencari kebenaran tersebut memiliki korelasi positif dengan prinsip-prinsip demokrasi modern. Karena dalam tradisi dan prinsip modern, demokrasi bukan terletak pada penerapan sistem trias politika yang membagi pemerintahan menjadi tiga lembaga yakni eksekutif, yudikatif dan legislatif, melainkan justru terletak pada sistem checks and balances yang berlangsung dalam praktik pemerintahan sebagai kontrol rakyat terhadap para pemimpinnya . Model check and balance itu akan bisa berjalan secara efektif bila semua elemen yang terlibat dalam praktik pemerintahan itu mengedepankan semangat dan prinsip keterbukaan. Pemerintahan akan berjalan efektif, efisien dan egaliter terhadap upaya mengakomodasi berbagai kepentingan rakyat sebagai pemegang kekuasaan.
Amien Rais mengungkap lima prinsip dasar bagi praktik demokrasi dalam pemerintahan menurut Islam yakni: Pertama, pemerintahan harus dilandaskan pada keadilan. Kedua, sistem politik harus dilandaskan pada prinsip syura dan musyawarah. Ketiga, terdapat prinsip kesetaraan yang tidak membedakan orang atas dasar gender, etnik, warna kulit, atau latar belakang sejarah, sosial atau ekonomi dan lain-lain. Keempat, kebebasan berfikir, berpendapat, pers, beragama, kebebasan dari rasa takut, hak untuk hidup, mengadakan gerakan dan lain-lain. Dan kelima, pertanggungjawaban para pemimpin kepada rakyat atas kebijakan-kebijakan mereka.
Semangat keterbukaan merupakan nafas yang sejalan dengan prinsip musyawarah dalam Islam. Musyawarah ditempatkan sebagai cara pengambilan keputusan. Prinsip musyawarah ini menjadi rujukan dalam pengambilan keputusan-keputusan penting di dunia Islam, khususnya dalam bidang politik. Hal itu seperti terepresentasi pada model pemilihan khulafaur Rasyidin sepeninggal Rasululah SAW yang dilakukan melalui mekanisme penentuan dengan melibatkan banyak sahabat rasul sebagai pemilihnya. Prinsip ini pun antara lain bisa dilacak pada tradisi politik kelompok Sunni. Karena selain digunakan untuk menyebut aliran atau kelompok keagamaan dalam Islam yang menerima otoritas sunnah Nabi Muhammad SAW dan otoritas seluruh generasi pertama umat Islam serta validnya kesejarahan komunitas mayoritas muslim, istilah Sunni merujuk pada tesis Abdurrahman Mas’ud juga digunakan dalam konteks politik untuk menunjuk pada orang atau komunitas yang menggunakan kekuatan mayoritas (jamaah) guna menghindari perpecahan umat akibat sebuah persoalan, khususnya dalam bidang politik.
Pada era Nabi Muhammad SAW hidup, konsep demokrasi salah satunya bisa dirujuk pada Piagam Madinah yang dianggap banyak pihak sebagai konsep Islam praktis yang sangat mendukung penerapan demokrasi di tengah masyarakat. Piagam Madinah, menurut Sumanto al-Qurtubi memuat dua prinsip yakni Pertama, prinsip kesederajatan dan keadilan serta prinsip keterbukaan (inklusivisme).
Sementara William Montgomery Watt menyebut Piagam Madinah atau "Konstitusi Madinah" sebagai konstitusi modern pertama yang memperkenalkan wacana kebebasan beragama, persaudaraan antaragama, perdamaian dan kedamaian, persatuan, etika politik, hak dan kewajiban warga negara, serta konsistensi penegakan hukum berdasarkan kebenaran dan keadilan.
Berbagai penjelasan di atas menyiratkan bahwa prinsip-prinsip ajaran Islam sangat mendukung semangat demokrasi dalam praktik kehidupan umatnya dan manusia secara umum di dunia sebagai perwujudan Islam sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin. Hal ini juga menyiratkan bahwa praktik-praktik demokrasi dalam pendidikan Islam memiliki sandaran filosofis dan teologis yang sangat kuat. Prinsip-prinsip demokrasi itu antara lain terwujud dalam semangat keadilan, musyawarah atau pelibatan orang banyak dalam pengambilan keputusan, kesetaraan, kebebebasan dan pertanggungjawaban.
Dengan demikian, praktik demokrasi dalam pendidikan Islam sesungguhnya sesuai dengan prinsip-prinsip dasar agama Islam sekaligus memiliki pijakan historis dalam praktik keberagamaan dan kemasyarakatan di dunia Islam sejak zaman Nabi Muhammad SAW hingga kini. Sehingga, penerapan demokrasi dalam pendidikan Islam tidak perlu disikapi secara antagonistis akibat telah dipopulerkan oleh para intelektual dan dalam praktik politik di negara-negara barat. Karena pada dasarnya, secara asasi ajaran Islam memuat kandungan mengenai hal ini sekaligus mendukung prinsip-prinsip demokrasi dalam membentuk kehidupan umat yang madani.
Dalam konteks pendidikan –termasuk pendidikan Islam--, implementasi prinsip-prinsip demokrasi tersebut secara ideal mesti diwujudkan pada bagaimana proses pendidikan itu mengakomodir semangat demokrasi dalam penyelenggaraannya. Karena kajian ini merupakan bagian dari filsafat pendidikan Islam --khususnya wilayah epistemologi--, maka demokratisasi pendidikan Islam tak hanya mesti diarahkan dalam kaitan dengan penyelenggaraan pendidikan persekolahan dalam lingkup pemenuhan kebutuhan yang menyeluruh pada aspek pendanaan, pemenuhan kebutuhan, pengelolaan kegiatan kependidikan dan kegiatan lainnya, akan tetapi yang lebih utama adalah menjadikan semangat tersebut sebagai dasar pijakan filosofis sebagai landasan penyelenggaraan kegiatan akademik pada sub sistem pendidikan Islam di tanah air. Dalam konteks penyelenggaraan kegiatan akademik di sekolah, prinsip demokratisasi itu menyangkut masalah pendidikan sebagai upaya yang melibatkan dan memberdayakan manusia sebagai peserta didik, pelibatan masyarakat serta pelayanan pendidikan tanpa diskriminasi.
C. Demokratisasi Pendidikan
Meski dalam kegiatan politik mekanisme berdemokrasi berbeda dengan praktik di lembaga pendidikan, namun secara substantif prinsip-prinsip demokrasi tersebut bisa diterapkan dalam kegiatan pendidikan. Dede Rosyada mendefinisikan sekolah demokratis sebagai membawa semangat demokrasi tersebut dalam perencanaan, pengelolaan dan evaluasi penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Pengertian yang sama mengenai sekolah demokrasi juga dikemukakan James A. Beane dan Michael W. Apple . Menurutnya, sekolah demokratis adalah kegiatan mengimplementasikan pola-pola demokratis dalam pengelolaan sekolah yang secara umum mencakup dua aspek yakni struktur organisasi dan prosedur kerja dalam struktur tersebut serta merancang kurikulum yang bisa mengantarkan anak-anak didik memiliki berbagai pengalaman tentang praktik-praktik demokratis.
Berkaitan dengan perwujudan prinsip-prinsip demokratisasi dalam penyelenggaraan pendidikan atau upaya menciptakan sekolah demokratis, menurut Dede Rosyada, semua pihak terkait baik pemerintah, pengelola sekolah maupun masyarakat harus mewujudkan tiga aspek penting, yakni: Pertama, demokratisasi dalam penyusunan, pengembangan dan implementasi kurikulum di sekolah. Kedua, demokratisasi dalam proses pembelajaran sejak penyiapan program pembelajaran sampai implementasi proses pembelajaran dalam kelas dengan memberikan perhatian pada aspirasi siswa, tidak mengabaikan mereka yang lamban dalam proses pemahaman dan tidak merugikan mereka yang cepat dalam memahami bahan ajar dengan tujuan akhir mencapai batas minimal kompetensi sesuai angka yang ditetapkan bersama dalam koridor mastery learning. Ketiga, demokratisasi dalam pengelolaan sekolah yang memperbesar pelibatan teamwork dalam proses pengambilan keputusan, perencanaan program, pendistribusian tugas dan wewenang serta perubahan paradigma dalam menilai produktivitas kerja setiap unsur dalam organisasi sekolah dengan orientasi kepuasan pelanggan atau klien sekolah.
Dengan demikian, prinsip-prinsip demokrasi semestinya terimplementasikan dalam tiga aspek penting penyelenggaraan pendidikan, yakni demokratisasi dalam penyusunan kurikulum, demokratisasi dalam proses belajar dan demokratisasi pengelolaan sekolah yang bertumpu pada kerja kolektif dan pelibatan seluruh team work penyelenggara pendidikan. Ketiga aspek tersebut harus diarahkan untuk agar bisa berjalan secara integral dalam mendukung penerapan sekolah demokratis. Jika salah satu aspek tersebut tidak bisa dilaksanakan dengan mengacu pada prinsip-prinsi demokrasi, maka perwujudan sekolah demokratis sulit dilakukan, atau paling tidak bakal menemui hambatan berarti.
James A. Beane dan Michael W. Apple mensyaratkan sejumlah kondisi yang harus dikembangkan untuk membangun sekolah demokratis, yakni: Pertama, keterbukaan saluran ide dan gagasan sehingga semua orang bisa menerima informasi seoptimal mungkin. Kedua, memberikan kepercayaan kepada individu-individu dan kelompok sesuai kapasitas yang mereka miliki untuk menyelesaikan berbagai persoalan sekolah. Ketiga, menyampaikan kritik sebagai hasil analisis dalam proses penyampaian evaluasi terhadap ide-ide, problem-problem dan berbagai kebijakan yang dikeluarkan pihak sekolah.Keempat, memperlihatkan kepedulian terhadap kesejahteraan orang lain dan terhadap persoalan-persoalan publik. Kelima, ada kepedulian terhadap harga diri, hak-hak individu dan hak-hak minoritas. Keenam, pemahaman bahwa demokrasi yang dikembangkan belumlah mencerminkan demokrasi yang diidealkan sehingga demokrasi harus terus dikembangkan dan bisa membimbing keseluruhan hidup manusia dan ketujuh terdapat sebuah institusi yang dapat terus mempromosikan dan mengembangkan cara-cara hidup demokratis.
D. Pendidikan yang Memanusiakan
Saat membahas pendidikan, maka tentu saja sangat penting memasukkan tema mengenai manusia. Karena proses pendidikan pada dasarnya dilakukan sebagai upaya memanusiakan manusia. Upaya ini ditujukan untuk memberi kesempatan kepada peserta didik agar bisa mengaktualisasikan dan menumbuhkembangkan potensi-potensi dasar atau fitrahnya.
Berkaitan dengan manusia, ajaran Islam sesungguhnya telah menggariskan batasan yang jelas. Ini bisa dirujuk dari proses penciptaan manusia sebagai makhluk dengan dimensi jasadi yang merupakan bagian dari alam semesta ciptaan Allah SWT serta aspek ruhi yang memiliki berbagai alat potensial dan fitrah. Dari dua unsur tersebut, menurut Malik Fadjar , aspek ruhi atau fitrah merupakan bagian yang esensial dari manusia yang harus dan bisa ditumbuhkembangkan melalui proses pendidikan, utamanya pendidikan sepanjang hayat. Pada dimensi ruhiyah inilah pendidikan mencoba mendewasakan, menyadarkan dan meng-insan kamil-kan manusia.
Merujuk pada Kamus al-Munjid , fitrah dari segi bahasa berarti ciptaan, sifat tertentu di mana yang maujud disifati dengannya pada awal masa penciptaannya, sifat pembawaan manusia (yang ada sejak lahir), agama, as-Sunnah. Al-Asfahani menjelaskan makna kebahasaan dari kata “Fitrah” dengan mengungkapkan kata “Fathara Allah al-Khalq” yang berarti Allah mewujudkan sesuatu dan menciptakannya bentuk/keadaan kemampuan untuk melakukan perbuatan-perbuatan.
Dalam Q.S. al-Rum ayat 30, fitrah dimaksudkan sebagai suatu kekuatan/daya untuk mengenal/mengakui Allah atau beriman kepada-Nya yang menetap dalam diri manusia. Dengan kata lain, fitrah berarti sebuah kekuatan atau kemampuan (potensi) yang ada dalam diri manusia sejak awal proses penciptaannya untuk berkomitmen terhadap nilai-nilai keimanan kepada Allah SWT yang cenderung kepada kebenaran sebagai ciptaan Allah SWT.
Atas berbagai penjelasan kebahasaan itu, dapat ditarik sebuah kesimpulan mengenai makna fitrah sebagai sebuah kemampuan manusia yang dimiliki sejak lahir untuk melakukan suatu perbuatan. Dalam konteks ini Islam menempatkan manusia sebagai makhluk yang memiliki kemampuan individual yang asasi dan dibawa sejak lahir sekaligus bisa diaktualisasikan dan dikembangkan.
Untuk memahami manusia dalam pendidikan, menurut A. Waidl perlu digunakan beberapa prinsip mendasar, yakni: Pertama, manusia memiliki sejarah sehingga mampu melakukan elf reflection, mampu keluar dari dirinya dan menengok ke belakang masa hidupnya kemudian mengadakan penelitin dan permenungan untuk mengoreksi masa lalu demi kombinas-kombinasi baru di masa mendatang. Kedua, manusia adalah makhluk dengan gala individualitasnya yang memiliki ciri khas berdasarkan potensi yang dimilikinya baik lahir maupun batin. Ketiga, manusia selalu membutuhkan sosialisasi di antara mereka. Keempat, msnuaia mengadakn hubungan juga dengan alam sekitarnya. Kelima, manusia dalam kebebasannya mengolah alam pikir dan rasa telah menemukan Yang Transendental yang terlembagakan melalui iman.
Dengan beberapa prinsip mendasar untuk mengetahui manusia tersebut, dapat dipahami bahwa manusia memiliki dimensi yang kompleks bahkan menurut Waidl sangat misterius sekaligus terus mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Sehingga dengan demikian, pendiidkan mestinya bersikap dinamis siring dengan dinamika kehidupan manusia yang terus berubah setiap waktu. Jika tidak, maka pendidikan akan menjadi sebuah lembaga yang statis dan tidak bisa mengikuti perubahan, apalagi turut memberdayakan manusia.
Mengenai fitrah manusia, Muhaimin menyebut 14 macam kemampuan dasar yang dimiliki manusia, yakni: Pertama, fitrah beragama sebagai kemampuan sentral manusia yang mengarahkan dan mengontrol fitrah-fitrah lainnya, yakni kemampuan yang mendorong manusia untuk selalu pasrah, tunduk dan patuh kepada Tuhan yang menguasai dan mengatur segala aspek kehidupan manusia. Kedua, fitrah berakal budi yang mendorong manusia untuk berpikir dan berzikir dalam memahami tanda-tanda kekuasan Allah SWT di alam semesta, untuk berkreasi dan berbudaya, serta memahami berbagai persoalan hidup yang dihadapinya sekaligus memecahkannya. Ketiga, fitrah kebersihan dan kesucian yang mendorong manusia untuk selalu komitmen terhadap kebersihan dan kesucian diri dan lingkungannya. Keempat, fitrah bermoral/berakhlak yang mendorong menusia untuk komitmen terhadap norma-norma dan aturan yang berlaku. Kelima, fitrah kebenaran yang selalu mendorong manusia untuk mencari dan mencapai kebenaran. Keenam, fitrah kemerdekaan yang mendorong manusia untuk bersikap bebas, tidak mau terbelenggu dan diperbudak oleh sesuatu yang lain kecuali oleh keinginannya sendiri dan kecintaannya kepada kebaikan. Ketujuh, fitrah keadilan yang mendorong manusia untuk berusaha menegakkan keadilan di muka bumi. Kedelpan, fitrah persamaan dan persatuan yang mendorong manusia untuk mewujudkan persamaan hak serta menentang diskriminasi ras, etnik, bahasa dan sebagainya serta berusaha menjalin persatuan dan kesatuan di muka bumi. Kesembilan, fitrah individu yang mendorong manusia untuk bersikap mandiri, bertanggung jawab atas segala tindakan yang dilakukan, mempertahankan harga diri dan kehormatannya serta menjaga keselamatan diri dan hartanya. Kesepuluh, fitrah sosial yang mendorong manusia untuk hidup bersama, bekerja sama, bergotong royong, saling membantu dan sejenisnya. Kesebelas, fitrah seksual yang mendorong manusia untuk mengembangkan keturunan, melanjutkan keturunan dan mewariskan tugas-tugas kepada genarasi penerusnya. Kedua belas, fitrah ekonomi yang mendorong manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya melalui aktivitas ekonomi. Ketiga belas, fitrah politik yang mendorong manusia untuk berusaha menyusun sebuah kekuasan dan institusi yang mampu melindungi kepentingan bersama dan Keempat belas, fitrah seni yang mendorong manusia untuk menghargai dan mengembangkan kebutuhan seni dalam kehidupannya.
Fitrah manusia tersebut, menurut Muhaimin , harus diaktualkan dan atau ditumbuhkembangkan dalam kehidupan nyata di dunia ini melalui proses pendidikan. Dengan demikian, proses pendidikan Islam pada dasarnya merupakan upaya untuk menumbuhkembangkan segenap potensi yang ada dalam diri manusia agar ia mampu mengaktualkan dan menumbuhkembangkan potensi yang dimilikinya untuk menjalani kehidupan di dunia dan pada akhirnya harus dipertanggungjawabkan kepada Allah SWT di akhirat nanti. Upaya pengembangan fitrah manusia melalui pendidikan itu terkait dengan tugas yang diberikan oleh Allah SWT kepada manusia di dunia, yang meliputi tugas sebagai hamba Allah (Abdullah) dan khalifatullah di muka bumi .
Sebagai Abdullah, menurut Muhaimin manusia diharuskan memelihara tugas berupa kewajiban dari Allah SWT, bertauhid dan ma’rifah kepada-Nya. Malik Fadjar mendefinisikan tugas kehambaan manusia dengan rangkaian perbuatan melaksanakan perintah Tuhan dalam bentuk berbuat sesuatu yang terpuji. Sedangkan sebagai khalifah, manusia diharuskan mengerahkan potensi yang dimilikinya untuk mengelola, memelihara dan mengembangkan dunia. Seperti halnya mewujudkan kemakmuran di bumi, mewujudkan keselamatan dan kebahagiaan di bumi, beriman dan beramal shaleh, bekerjasama menegakkan kebenaran dan kesabaran dan berbagai tugas sejenis lainnya.
Dengan demikian, pendidikan –terutama pendidikan Islam—mesti ditujukan pada bagaimana agar peserta didik diarahkan untuk mampu mengembangkan seluruh potensi yang dimilikinya untuk mewujudkan peran-peran sebagai Abdullah dan khalifatullah. Antara lain bagaimana pendidikan bisa membentuk siswa menjadi hamba yang bersedia melaksanakan tugas kehambaannya kepada Allah dalam bentuk ibadah personal dan sosial serta tugas mengelola, mengembangkan dan memakmurkan bumi ini sebagai khalifah.
Dalam konteks demokrasi pendidikan Islam, maka upaya mempertimbangkan dan memberdayakan potensi manusia sebagai peserta didik juga merupakan sesuatu yang penting. Aspek pelibatan siswa dengan beragam potensi, latar belakang dan kesadaran psikologisnya dalam berbagai keputusan pendidikan, kegiatan belajar mengajar dan sebagainya, mendapatkan penghormatan, penghargaan dan sebagainya mutlak diperlukan.
Dalam konteks ini, maka penyelenggaraan pendidikan mutlak harus mengacu pada aspek-aspek yang bisa mendukung kultur tersebut. Dengan demikian, penulis sependapat dengan pandangan Abdurrahman Mas’ud bahwa pendidikan mesti mengacu pada semangat pembebasan dan pemberdayaan siswa. Pada tahap pertama siswa dibebaskan mengembangkan semua potensi yang dimilikinya dan selanjutnya diarahkan dan diberdayakan agar mampu mengembangkan dan mengoptimalkan seluruh potensi tersebut secara lebih terarah.
Muhaimin menyebut kehidupan akhirat sebagai sebuah dimensi akhir dari kehidupan manusia untuk mempertanggungjawabkan aktualisasi diri dan pengembangan potensi tersebut kepada Allah SWT. Di sini tersirat dimensi religius dalam pengembangan fitrah manusia tersebut di dunia pendidikan, karena sebagai proses aktualisasi dan pengembangan potensi manusia, pendidikan disyaratkan untuk mengarahkan peserta didik agar menyadari keharusan pertanggungjawaban perbuatan dan aktualisasi diri di dunia kepada Allah SWT di akhirat nanti. Ini pula yang tampaknya menjadi pembeda antara praktik pendidikan umum dan pendidikan Islam, di mana pendidikan di madrasah dan PTAI memiliki unikum karena mengajarkan aspek-aspek religius khususnya yang berkaitan dengan ajaran Islam yang bersandar pada al-Qur’an an Hadits.
Ini sejalan dengan filosofi pendidikan sebagai upaya untuk memberikan peluang bagi manusia untuk menjadi lebih human atau tinggi harkatnya . Muhaimin juga menyebut pendidikan sebagai usaha memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan alat-alat potensialnya seoptimal mungkin agar dapat difungsikan sebagai sarana bagi pemecahan masalah-masalah hidup dan kehidupan, pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) serta budaya manusia sekaligus sikap iman dan taqwa (imtaq) kepada Allah SWT.
E. Civil Society
Sebagai sebuah proses pemberdayaan, pemanusiaan manusia dan upaya mewujudkan manusia yang utuh, proses pendidikan tentunya sangat terkait dengan bagaimana mengupayakan perwujudan masyarakat madani. Artinya, upaya pendidikan mesti diarahkan agar penyelenggaraan pendidikan diarahkan pada pembentukan komunitas sekolah yang madani untuk kemudian dijalarkan pada pembentukan masyarakat luas yang madani pula.
Upaya membentuk masyarakat madani, menurut Nurcholis Madjid , mesti diarahkan pada cita-cita dan konsep masyarakat Madinah di bawah kepemimpinan Rasulullah SAW, yakni masyarakat yang: Pertama, masyarakat rabbaniyah yang memiliki semangat ketuhanan yang dihiasi tiga pilar penting yaitu aqidah, syariah dan akhlak. Kedua, masyarakat demokratis yang terbiasa bertradisi musyawarah. Ketiga, masyarakat yang toleran di tengah keperbedaan dan pluralitas. Keempat, masyarakat yang berkeadilan. Kelima, masyarakat berilmu.
Dalam konteks pendidikan Islam, maka upaya mewujudkan masyarakat madani mesti diarahkan pada praktik-praktik yang mengarah pada kultur rabbaniyah atas dasar standar aqidah, syariah dan akhlak yang ideal islami, kultur demokrasi melalui tradisi musyawarah dan melibatkan semua warga belajar dan pengelola kependidikan serta masyarakat, prinsip toleransi menyikapi keragaman, berkeadilan dan menjunjung tinggi ilmu pengetahuan. Prinsip-prinsip ini pula yang mesti diterapkan oleh lembaga pendidikan dalam proses interaksinya dengan masyarakat untuk turut berperan mewujudkan masyarakat madani dalam konteks lokal, nasional maupun nasional dan internasional
E. Refleksi Globalisasi
Apa yang ditimbulkan oleh globalisasi --baik manfaat maupun mudlaratnya—jelas memberikan tantangan tersendiri bagi lembaga pendidikan, termasuk pendidikan Islam. Di era yang serba terbuka itu, selain meniscayakan persaingan yang demikian ketat, juga bakal memunculkan akulturasi budaya yang demikian mudah dan cepat. Globalisasi memang demikian unik. Karena menurut VS Naipul (1996) ia akan memunculkan fenomena universal civilitation. Sementara dalam kesempatan yang sama menurut Yasraf Amir Piliang (1998) justru akan membangkitkan kesadaran lokal.
Berkaitan dengan tantangan globalisasi tersebut, lembaga pendidikan sebagai pencetak SDM unggul setidaknya harus memenuhi tipologi sekolah abad ke-21. Tipologi tersebut, menurut Lyn Haas (1994) menuntut setiap lembaga pendidikan untuk mampu memenuhi beberapa kualifikasi ideal, yakni:
Pertama, mewujudkan pendidikan untuk semua yakni memperlakukan siswa secara sama, memberikan pelajaran untuk memperoleh kompetensi keilmuan sesuai batas-batas kurikuler, memiliki basis skill dan keterampilan sesuai dengan minat merek dan kebutuhan pasar tenaga kerja.Ini pun harus diberengi dengan upaya integrasi pendidikan akademik sebagai persiapan memasuki perguruan tinggi dan pendidikan keterampilab untuk memasuki pasar tenaga kerja sesuai tuntutan perubahan masyarakat terhadap pendidikan untuk memberikan kontribusi terhadap kemajuan. Kedua, memberikan skill dan keterampilan yang sesuai dengan tuntutan pasar yang menghendaki setiap tenaga kerja memiliki keterampilan penggunaan alat-alat teknologi termodern, kemampuan komunikasi global, matematika serta kemampuan mengakses pengetahuan. Ketiga, penekanan pada kerjasama yakni menekankan pada pengalaman para siswa dalam melakukan kerjasama dengan yang lain melalui penugasan-penugasan kelompok dalam proses pembelajaran sehingga mereka memiliki pengalaman mengembangkan kerjasama. Karena trend pasar ke depan adalah pengembangan kerjasama, baik antara perusahaan atau antara perusahaan dengan masyarakat dan yang lainnya, sehingga pengalaman mereka belajar akan sangat bermanfaat dalam artikulasi diri di lapangan profesi mereka. Keempat, pengembangan kecerdasan ganda yakni bahwa para siswa harus diberi kesempatan untuk mengembangkan multiple intelligence mereka dengan memberi peluang untuk mengembangkan skill dan keterampilan yang beragam sehingga mudah melakukan penyesuaian di pasar tenaga kerja. Kelima, integrasi program pendidikan dengan kegiatan pengabdian kepada masyarakat agar mereka memiliki kepekaan sosial.
Dari beberapa gambaran mengenai globalisasi di atas, penulis setidaknya menemukan dua persoalan penting berkaitan era ini. Pertama, terjadinya benturan budaya yang akibatnya sangat fatal bagi kehidupan manusia. Marginalisasi bahkan pembunuhan budaya-budaya kecil oleh budaya-budaya besar dunia yang terjadi seiring dengan proses akulturasi dan penetrasi budaya yang dipermudah oleh sarana teknologi infomasi jelas akan mengakibatkan pergeseran bahkan krisis nilaidalam kehidupan manusia. Kedua, terjadinya penjajahan oleh Negara-negara besar terhadap Negara-negara kecil, khususnya di bidang politik dan ekonomi. Ini terjadi seiring dengan dominasi negara-negara besar di bidang industri dan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek). Dengan demikian, Negara-negara yang memiliki kapital lebih besar dan SDM yang handal akan terus menjadi penguasa ekonomi dan politik dunia, termasuk mendominasi persaingan antar manusia dan bangsa-bangsa di dunia.
Karenanya, praktik pendidikan Islam dan para pengelolanya mesti berupaya keras melakukan berbagai langkah agar tidak tertinggal dan mampu merespons tantangan global dengan turut memainkan peran di era ini.
Pertama, bagaimana pendidikan Islam mampu meningkatkan mutu pendidikannya, baik mutu belajar maupun mutu lulusannya baik di bidang akademik maupun tuntutan pasar kerja dengan mengaitkannya pada tuntutan dan tantangan global. Ini penting dilakukan agar proses pendidikan Islam bisa berkualitas sehingga bisa melahirkan lulusan yang berkualitas pula. Menyeimbangkan mutu pendidikan agama dan umum di lembaga pendidikan Islam, jelas menjadi sebuah kebutuhan mendasar bagi pendidikan Islam agar mampu membekali para siswanya dengan kemampuan ilmu agama dan ilmu umum yang berbasis Imtaq dan Iptek secara seimbang. Kenyataan mutu pendidikan Islam seperti di madrasah yang lebih rendah dibanding dengan sekolah-sekolah umum yang berada di bawah naungan Depdiknas menyiratkan betapa usaha untuk mewujudkan kualitas proses belajar dan mutu lulusan yang sesuai harapan demikian berat. Kedua, bagaimana madrasah secara eksternal mampu merepons berbagai tantangan global yang meniscayakan perubahan yang demikian cepat. Era persaingan global yang demikian kompetitif dan membutuhkan Sumber Daya Manusia (SDM) unggul yang bisa bersaing di era global merupakan sebuah tantangan dan kenyataan yang tidak bisa dielakkan. Termasuk tantangan kebudayaan serta pergeseran dan krisis nilai yang mesti dihadapi seiring dengan marginalisasi dan pembunuhan budaya-budaya kecil oleh budaya-budaya besar dan berpengaruh di dunia.
Karena itulah, dalam menghadapi berbagai perubahan dan tantangan global, para pengelola pendidikan Islam harus terbuka terhadap perubahan, inovasi dan pembaruan di lembaga pendidikan tersebut. Karena perubahan begitu cepat terjadi dan lembaga pendidikan seperti halnya madrasah dituntut untuk responsive dan dinamis terhadap berbagai perubahan, bukan malah statis dan anti perubahan.
Kemampuan lembaga pendidikan Islam melakukan adaptasi dan asimilasi budaya serta responsif terhadap perubahan dan tradisi lokal Indonesia sejak lama sehingga mendapat kepercayaan masyarakat hingga kini, jelas harus kembali diwujudkan di era persaingan global saat ini. Artinya, bagaimana ketangguhan lembaga pendidikan Islam dalam memainkan peran budaya dan responsif terhadap perubahan yang terjadi sepanjang perjalanan sejarahnya kini kembali diuji. Hanya saja, tantangan yang terjadi pada masa lalu berbeda dengan era kontemporer. Jika dahulu kala struktur masyarakat relatif sederhana dan tantangan perubahan zaman juga relatif tidak berat, maka era global menyajikan perubahan struktur masyarakat yang gradual dan tantangan yang maha berat. Tapi inilah realitas yang harus dihadapi, bukan dihindari. Karenanya madrasah harus bekerja ekstra keras untuk menghadapi tantangan tersebut jika tidak ingin tergusur oleh persaingan dan tak lagi mendapat simpati dan kepercayaan masyarakat untuk menyekolahkan putra dan putrinya atau tergusur dalam peran pemberdayaan masyarakat, transformasi sosial dan penjaga budaya dan nilai di era global.
F. Pendidikan Multikultural
Struktur masyarakat dunia –termasuk Indonesia kini semakin beragam –multi bangsa dan polyetnis. Will Kymlicka berdasar hasil penelitiannya mengungkapkan bahwa dari struktur 184 negara merdeka di dunia terdiri setidaknya dari 5.000 etnis dan 600 bahasa. Indonesia juga termasuk negara yang polyetnis, terdiri dari beragam suku di puluhan provinsi dan pulau- pulau yang membentanginya. Hal ini menunjukkan bahwa pluralitas menjadi sebuah realiatas yang tak bisa ditawar-tawar.
Dalam konteks Cirebon, pluralitas suku, bangsa dan etnis dan sejenisnya juga menjadi kenyataan yang menyejarah sejak dulu hingga kini. Posisinya yang berada di jalur perdagangan sutera (silk road), menurut Edi Sedyawati menghadirkan persilangan budaya antar bangsa di daerah ini.
Kenyataan mengenai beragamnya latar belakang budaya dan bangsa yang menghuni Cirebon sejak dulu hingga kini, menurut kajian T.D. Sudjana , terepresentasi dalam sebuah kereta buatan Pangeran Losari yang bernama Paksi Naga Lima yang hingga kini masih bisa dilihat di Kareton Kasepuhan. Paksi menggambarkan kebudayaan India (Hindu-Budha), Naga merepresentasikan kebudayaan Cina dan Liman sebagai lambang kebudayaan Islam.
Realitas yang menyejarah mengenai pluralitas bangsa, suku dan etnis di Cirebon ini sampai kini masih berwujud. Hal itu terlihat dari struktur masyarakat Cirebon yang terdiri dari beragam budaya, latar belakang bangsa, agama dan suku. Seperti terlihat pada masih hadirnya masyarakat kampung Arab, Cina, India, dan lainnya. Apalagi posisi Cirebon yang terhimpit oleh kebudayaan besar Jawa dan Sunda yang menjadikannya sebagai masyarakat yang memiliki identitas sendiri yang disebut T.D. Sudjana sebagai masyarakat yang terbuka dan tetap berpegang teguh pada tradisi budaya khasnya yang tosblong (apa adanya) yang dibentuk semasa kepemimpinan Sunan Gunung Djati, Mbah Kuwu Sangkan dan Pangeran Girilaya.
Kenyataan-kenyataan tersebut tentu harus direspon oleh lembaga pendidikan sebagai agen budaya, pemberdaya siswa dan agen perubahan sosial, termasuk pendidikan Islam. Karenanya, menurut Haidar Putra Daulay pendidikan islam mesti mampu mengakomodir semangat berdampingan secara damai dan aman penuh toleransi, saling menghargai dan memahami di tengah keperbedaan suku, bangsa, bahasa, budaya dan agama. Praktik penyelenggaraan pendidikan dalam konteks ini, menurutnya, mesti menjadi perekat pluralitas tersebut.
G. Kesimpulan
Pertama, demokrasi menjadi kata penting dalam upaya peningkatan mutu pendidikan, termasuk pendidikan Islam. Kedua, prinsip demokrasi sesungguhnya sesuai dengan semangat ajaran dan praktik umat Islam sejak zaman Nabi Muhammad SAW hingga tradisi Sunni sehingga bisa diterapkan dalam praktik penyelenggaraan pendidikan Islam. Ketiga, demokrasi pendidikan Islam mesti diterapkan pada perencanaan, penyelenggaraan KBM dan evaluasi. Keempat, demokrasi pendidikan mencakup prinsip pemanusiaan manusia, civil society dan pendidikan multikultural.
Selasa, 14 Juli 2009
Langganan:
Postingan (Atom)